Rabu, 28 November 2012

Dewi Bulan Sang Hyang Nari Ratih


Dewi Bulan Sang Hyang Nari RatihUmat Hindu di Indonesia setiap rerahinan atau hari suci Purnama Tilem sibuk membuat canang, pesucian dan daksina (sarana sesajen),untuk dihaturkan kehadapan-Nya. Canang biasanya terdiri dari : ceper yaitu sebagai alas dasar berbentuk segi empat bujur sangkar sebagai lambang dari “Swastika” yang terbuat dari janur. Swastika adalah simbol suci Agama Hindu yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung atau macrocosmos dan Bhuana Alit atau Microcosmos. Didalam ceper yang berbentuk segi empat itu terdapatlah raka-raka seperti : pisang dan tebu masing-masing 1 (satu) iris. Kemudian jajan gegiping, boreh miik dan lengis miik diatas tangkih. Diatasnya adalah porosan (daun sirih, kapur putih dan buah pisang). Raka-raka adalah lambang hasil bumi, sedangkan porosan adalah melambangkan sabda, bayu, idep (suara, tenaga dan pikiran).

Diatasnya kemudian disusun dengan duras, yang berbentuk bundar, juga terbuat dari janur. Duras ini adalah lambang dari cakra atau padma yang berbentuk bundar, merupakan dasar kekuatan dan perputaran alam. Selanjutnya disusun dengan bunga-bunga yang harum diatas duras, yang merupakan lambang keharmonisan alam, kesucian, kedamaian abadi dan keindahan surgawi.

Kemudian pesucian berbentuk segi empat panjang yang terbuat dari janur. Diatas tangkih atau celemik diisi boreh miik, lengis miik, sisig (jajan uli yang dihanguskan), daun pucuk/ kembang sepatu yang diiris-iris, tebu, porosan. Diatasnya disusuni duras bisa berbentuk segitiga maupun bundar. Arti dan maksud dari pesucian tersebut adalah : bahwa sebelum umat bersembahyang, terlebih dahulu menyucikan badan, jiwa dan pikiran.

Daksina terdiri dari : bedogan yang terbuat dari daun kelapa hijau tua, berbentuk seperti palung. Kemudian didalamnya terdapat raka-raka berupa pisang dan tebu, gegantusan, dukun-dukun, tingkih, pangi, dan telur, serta kojong yang berisi porosan dan bunga.

Didalam bedogan tersebut berisi kelapa yang telah dikupas kulitnya. Daksina ini adalah lambang “Lingga dan Yoni” (Siwa dan saktinya). Diatas kelapa biasanya disusuni pula dengan bunga sumpang. Bunga-bunga harum yang ditusuk-tusuk dengan kawat, jika daksina tersebut dilinggihkan (ditaruh diatas pelinggih), namun jika hanya untuk menimpali banten yang lainnya tidak usah diisi sumpang.

Pada rerahinan atau hari suci Purnama yang dianggap istimewa oleh umat dibuatkan banten tertentu. Misalnya Purnama yang bertepatan dengan “Gerhana Bulan” maka dibuatkan banten sesayut dirgayusa bumi, dan sesayut durmengala. Sesayut ini dihaturkan kehadapan-Nya dan dipuja oleh Sulinggih. Ketika Purnama Sada dibuatkan “banten sesayut Purnama Sada”.

Purnama dan Tilem umumnya diikuti oleh sasih yang menyertainya. Sasih dalam penanggalan kalender ada 12 (dua belas) yaitu : Sasih Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa, Jiyesta dan Sada. Jika pada penanggalan itu Purnama bertepatan dengan sasih Kapat, maka disebut “Purnama Kapat”. Begitu pula halnya dengan Tilem, jika dia pada sasih kapat itu maka disebut “Tilem Kapat”.

Sebagaimana halnya kebiasaan umat di Bali dan Indonesia pada rerahinan Purnama Tilem itu, maka canang raka dan canang sari dihaturkan di semua pelinggih yang ada di Merajan/Sanggah Kamulan atau tempat suci keluarga. Begitu pula disetiap pelangkiran yang ada dalam rumah tangga. Di lebuh, di sumur, di dapur, penuggun karang, pemedalan, pintu regol, di natar dan sebagainya.

Banten atau canang ini dihaturkan kehadapan-Nya dengan perwujudan Sang Hyang Nari Ratih. Sang Hyang Nari Ratih adalah nama lain dari Dewi Soma, sebagai istri dari Dewa Candra. Tujuannya untuk memohon berkah-Nya, agar pikiran-pikiran seseorang yang gelap diterangi oleh-Nya, dibimbing menuju ke jalan yang benar. Agar hati, jiwa serta pikiran selalu dilandasi kedamaian, ketenangan dan keindahan.

Rerahinan Tilem dirayakan ketika bulan mati, maksudnya gelap (tidak ada sinar bulan dilangit). Kegelapan pada hari Tilem ini, justru bernuansa religius. Ditinjau dari pengetahuan Astronomi bahwa pada bulan Tilem itu posisi bulan berada diantara Matahari dengan Bumi.

Sehingga suasana menjadi gelap di malam hari dibumi. Pada Tilem kepitu yang disebut dengan Siwaratri umat Hindu merayakannya dengan membuat dan menghaturkan banten “Pengukup Jiwa dan Sesayut guru asih”. Karena datangnya setiap bulan, maka dalam setahun dapat dijumpai 12 (dua belas) kali rahinan Purnama dan 12 (dua belas ) kali rahinan Tilem.

Purnama dan Tilem oleh umat Hindu sering dimanfaatkan untuk berdiskusi di Pura-pura sehabis sembahyang. Ada juga beberapa umat melakukan tirtayatra ke pura-pura tetentu untuk melakukan meditasi.

Tujuannya adalah untuk memperoleh ketenangan, kedamaian, kebahagiaan dan inspirasi. Pada hari suci Purnama Tilem inilah para sastrawan, pujangga, para meditator melakukan perenungan untuk mendapatkan ide-ide baru.

LATAR BELAKANG DAN SEJARAH

Purnama dan Tilem sudah dirayakan oleh Nenek Moyang di Negeri Nusantara, sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia. Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, bahwa hari suci Purnama Tilem erat kaitannya dengan keberadaan Dinasti Candra.

Dinasti Candra menganggap bahwa leluhurnya dahulu adalah berasal dari keturunan suci, yang diturunkan ke bumi sebagai Dewa Candra atau Dewa Bulan.Sakti atau istri Dewa Candra itu disebut Dewi Soma. Dewa Candra dan Dewi Soma inilah kemudian menurunkan wangsa Candra.

Dewi Bulan Sang Hyang Nari Ratih

Dewi Bulan Sang Hyang Nari Ratih
Dalam kurun waktu yang berabad-abad kemudian keturunan bangsa dari Dinasti Candra muncul kepercayaan, bahwa bulan Purnama dan Tilem adalah sebagai hari suci bangsa bersangkutan. Kepercayaan ini kemudian dianut oleh berbagai kepercayaan di belahan Negeri Timur dari berbagai sekta. Akhirnya hari suci Purnama dan Tilem juga dipercaya oleh Umat Hindu di Nusantara sebagai hari sucinya.

Bagi umat Budha hari suci “Waiçak” yang bertepatan dengan Purnama mempunyai keistimewaan tersendiri. Karena pada Bulan Purnama pula beliau mencapai pencerahan (Nirwana). Begitu pula beliau wafat pada bulan Purnama Juga.

Sedangkan bagi umat Hindu pada Tilem Kepitu (Ketujuh) dan Tilem Kesanga (kesembilan) dirayakan secara khusuk dan kidman. Tilem kepitu bagi umat Hindu adalah Siwaratri. Hari suci Siwaratri ini erat kaitannya dengan cerita Lubdaka karangan Empu Tanakung. Ceritanya adalah sebagai berikut :

Lubdaka adalah seorang pemburu binatang di hutan, pekerjaannya adalah memburu dan membunuh binatang yang dagingnya dimakan atau dijual. Begitulah pekerjaannya saban hari, hingga pada suatu hari dia kembali ke hutan untuk berburu. Namun sayang pada hari itu nasibnya lagi sial dan apes. Karena tidak ada seekor binatang pun yang didapatkannya. Malang baginya karena ingin mendapatkan binatang buruan, hinga dia lupa dengan waktu. Tak terasa hari telah menjelang senja dan sebentar lagi malampun tiba.

Dia bermaksud untuk pulang, namun karena sudah keburu malam dan haripun gelap gulita, akhirnya Lubdaka memutuskan untuk menginap saja dihutan. Karena takut disergap binatang buas, maka dia berusaha mencari tempat ketinggian diatas pohon.

Tak terasa kakinya melangkah pada sebuah pohon “Bila”. Yang mana dibawahnya terdapat air telaga yang bening, dengan sebuah pelinggih dan lingga. Dia naik keatas pohon Bila kemudian bersandar. Untuk menghilangkan kantuknya dia memetik daun-daun Bila.

Karena jika ia tertidur diatas pohon tentu akan jatuh. Setangkai demi setangkai daun bila itu dipetiknya dan dijatuhkannya kebawah. Sehingga mengenai “Lingga” yang ada dibawahnya.

Mungkin Lubdaka sendiri tidak menyadari bahwa pada hari itu adalah malam Siwaratri (Tilem Kepitu) dimana pada hari itu Siwa sedang beryoga. Sambil memetik daun bila, dia mulai menyesali segala perbuatannya dimasa-masa yang lampau.

Disana kemudian dia berjanji dalam hatinya untuk menghentikan pekerjaannya sebagai seorang pemburu. Setelah begadang semalam suntuk pagipun tiba, maka dia mulai berkemas-kemas untuk pulang.

Sejak hari itu dia berhenti beruru dan beralih profesi sebagai petani. Namun setelah itu dia mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Kemudian dikisahkan arwah Lubdaka melayang-layang diangkasa, tidak tahu jalan harus kemana. Selanjutnya datanglah pasukan Cingkarabala membawanya pergi hendak dimasukkan kekawah Candragomuka yang berada di Neraka.

Pada saat itulah Sang Hyang Siwa datang dan mencegat pasukan Cingkarabala. Terjadi dialog yang sengit antara pasukan Cingkarabala dengan Bhatara Siwa. Pasukan Cingkarabala bersikeras hendak membawa arwah Lubdaka ke Neraka. Karena dimasa hidupnya dia sering melakukan pembunuhan terhadap binatang hutan.

Namun Sang Hyang Siwa menjelaskan bahwa Lubdaka sudah membuat penebusan dosa pada malam Siwararti, yaitu begadang semalam suntuk disertai dengan penyesalan akan dosa-dosanya dimasa lampau. Sehingga dengan demikian dia berhak mendapatkan pengampunan. Maka demikianlah, singkat cerita Lubdaka dibawa ke Siwa Loka.

Sumber

Rancangan Jadwal Kegiatan DPK Peradah Kota Makassar

Untuk mendukung terealisasinya program kerja DPK Peradah Indonesia Kota Makassar periode 2012-2015, Maka dilakukan rancangan untuk memudahkan prioritas pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan program kerja yang telah disahkan. adapun rancangan program kerja DPK Peradah Indonesia Kota Makassar adalah sebagai berikut:

Pendataan Jumlah Pemuda Hindu Dikota Makassar
Merupakan program kerja yang paling memberi pengaruh besar, sebab keseluruhan program kerja yang telah disahkan tidak akan terlaksana dengan maksimal tanpa adanya jumlah pemuda yang memadai.  ini adalah langkah awal untuk mendukung program kerja dari bidang-bidang lainnya. kegiatan ini  Hendaknya dilaksanakan setiap hari minggu dan setiap persembahyangan dimana umat Hindu Khususnya pemuda datang kepura Giri Natha untuk melakukan persembahyangan. yang merupakan pusat kegiatan Umat Hindu di Kota Makassar.
 
Inipuja (Inisiatif Pura Hijau)
Adalah salah satu program Dewan Pimpinan Nasional yang di terapkan di DPK Peradah Indonesia Kota Makassar. Merupakan salah satu wujud nyata guna mendukung program pemerintah daerah (Go Green). Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari minggu, di minggu pertama setiap bulan. selain itu juga dilaksanakan setiap menjelang hari Hari Raya Besar Agama Hindu.

Olah Raga dan Seni
Kegiatan olah raga yang dilaksanakan oleh pemuda ialah olah raga Futsal, sepak takraw, bulutangkis, dll yang bertujuan untuk menumbuhkan sikap solidaritas dan kebersamaa diantara pemuda. kegiatan ini selain meningkatkan kesehatan fisik pemuda juga dapat memberikan manfaat lain, yaitu meningkatkan mental pemuda dalam bersosialisasi.

Kegiatan seni yang di laksanakan oleh DPK Peradah Kota Makassar yaitu seni musik modern dan musik tradisional. kegiatan ini terjadwal seminggu sekali. kegiatan ini bertujuan untuk melestarikan budaya keseian tradisional Bali, selain itu juga bertujuan meningkatkan kreatifitas pemuda dibidang seni musik.

Penggalangan Dana
Melakukan kegiatan penggalangan dana untuk mendukung program kerja yang telah disahkan dalam Raker. Kegiatan penggalangan dana yang mungkin untuk dilakukan adalah, mengadakan Bazzar, Proposal Kegiatan, dll.

Diklat atau Pelatihan Khusus
Kegiatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan kader dalam memanajemen organisasi, selain itu juga diharapkan dapat membentuk kader-kader untuk meregenerasi kader-kader sebelumnya. kegiatan ini diharapkan dilaksanakan setahun sekali.

Catur Marga Yoga

Om Swastyastu,

Secara alamiah tidak seorangpun di dunia ini yang mampu menghidar dari aktivitas kerja, karena kerja (action) adalah salah satu ciri mahluk hidup, manusia merupakan salah satu mahluk hidup. Dia hidup karena dia bergerak, jantungnya berdetak, darahnya mengalir, pencernaannya beraktivitas normal, semua organ tubuh bergetar normal. Karma berarti kerja, Jalan Karma artinya adalah Jalan menuju Hyang Widdhi Wasa dengan menggunakan sarana kerja "Action" yang tulus ikhlas tanpa pamrih. Menurut kitab suci Bhagavad Gita kerja adalah SUATU KEWAJIBAN.
  • Bhagawadgita III.5:
“Nahi kascity ksanam api jatu tisthaty akarmakrit, karyate hy awasah karma sarwah prakritijair gunaih. “
Artinya: Walau sesaat jua tidak seorangpun untuk tidak berbuat karena manusia dibuat tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksanya bertindak.
  • Bhagawadgita III.8:
“Niyatam kuru karma twam karma jyayo hy akarmanah, sarirayatra pi ca te na prasidhyed akarmanah.”
Artinya : Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tidak akan berhasil dipelihara tanpa bekerja.

Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari hukum kerja itu bahkan ketika tidurpun tanpa disadari jantung tetap berdetak, darah tetap mengalir, dan nafas terus berhembus. Hyang Widhi -pun setiap detik bekerja tiada henti seperti menggerakkan benda-benda angkasa, menumbuhkan-memelihara-memusnahkan kehidupan mahluk-mahluk, menghembuskan angin, meriakkan gelombang laut dll.
  • Bhagawadgita III.223.24:
“Yadi hy aham na warteyam, jatu karmany atandritah, mama wartna nuwartante, mansyah partha sawarsah. Utsideyur ime loka, na kuryam karma ced aham, samskarasya ce karta syam upahanyam imah prajah.”
Artinya: Sebab kalau Aku tidak selalu bekerja tanpa henti-henti, manusia tidak akan mengikuti jalan-Ku itu, dalam segala bidang apapun juga. Dunia ini akan hancur bila Aku tidak bekerja; Aku menjadi pencipta kekacauan, memusnahkan semua manusia.

Dengan demikian bila seseorang tidak bekerja dia akan dilindas oleh arus perputaran dunia dan menderita akibatnya. Penderitaan itulah yang menghancurkan hidupnya. Manusia sebagai Bhuwana alit dan Hyang Widhi sebagai Bhuwana agung dapat diumpamakan sebagai setitik air dalam sungai. Titik air itu mengikuti dan menyatu dengan sungai, sehingga manusiapun mengikuti dan menyatu dengan Hyang Widhi, khususnya dalam bekerja. Untuk itu Hyang Widhi menciptakan hukum Karma bagi manusia dan hukum Rta bagi alam semesta. Contoh hukum Karma: seseorang bekerja sebagai karyawan, maka setiap bulan ia menerima gaji. Contoh hukum Rta: karena bumi beredar mengelilingi matahari maka terjadilah hari siang dan malam di bumi.

BEKERJA KARENA PIKIRAN.
Pikiran adalah sumber motivasi bekerja, maka ia menentukan hasil suka dan duka dalam karma. Kerja yang dilandasi oleh pikiran mulia akan membuahkan karma yang mulia, sedangkan kerja yang dilandasi pikiran hina akan membuahkan karma yang hina pula. Karma yang mulia menuntun manusia pada kehidupan yang moksartham jagadhita sedangkan karma yang hina membawa manusia ke neraka.

BEKERJA UNTUK KEPENTINGAN MASYARAKAT DAN DIRI SENDIRI.
Pola pikiran manusia dizaman purba mula-mula bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Lama kelamaan manusia sadar bahwa ia tidak dapat hidup tanpa bantuan atau jasa manusia lain sehingga mendorongnya bermasyarakat. Kini manusia bekerja untuk masyarakat kemudian dirinya menikmati hasil kerjanya itu berupa karma.

Dalam keseharian kita mengenal perkatan : saya, yang berasal dari perkataan sahaya, artinya “pengabdi”.
Di Bali orang menyebut dirinya “titiang” berasal dari “titah Hyang (Widhi)” artinya perintah Tuhan.
Di Jawa orang menyebut dirinya “Kulo” asal kata “kaula” (pengabdi).
Di Jawa Barat orang menyebut dirinya “abdi” (juga pengabdi).
Pengertian lebih luas adalah pernyataan bahwa saya adalah hamba yang melaksanakan perintah Hyang Widhi untuk mengabdi pada kepentingan Bhuwana Agung termasuk manusia.

MENCINTAI PEKERJAAN.
Manusia yang bekerja disayang Hyang Widhi. Makin rajin dan jujur ia bekerja maka Hyang Widhi semakin kasih sayang kepadanya, sehingga pahala dari karmanyapun berlimpah. Manusia dapat rajin bekerja dan berhasil baik jika ia mencintai pekerjaannya. Mencintai pekerjaan adalah sama dengan mencintai Hyang Widhi. Mereka yang yakin bahwa bekerja baik adalah perintah Hyang Widhi, maka ia akan sedih dan malu bilamana hasil pekerjaannya tidak baik atau bahkan merugikan masyarakat secara langsung atau tidak langsung.

TRIGUNA DALAM BEKERJA.
Triguna: Satwam, Rajas, Tamas
adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan dalam melakukan pekerjaan agar berhasil baik. Pikiran-pikiran "satwam" adalah pikiran yang sesuai dengan ajaran agama Hindu menjadi dasar utama motivasi bekerja. Kemudian semangat yang tinggi mengerahkan daya pikir dan physik menunaikan pekerjaan sebaik-baiknya disebut sebagai "Rajas". Namun demikian manusia membutuhkan istirahat pikiran dan physik misalnya bersantai dan tidur yang disebut "Tamas". Perimbangan antara satwam, rajas, dan tamas hendaknya diatur berdasarkan kebijaksanaan masing-masing orang. Kepandaian mengatur keseimbangan inilah yang menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja. Dengan kata lain Triguna adalah alat untuk mencapai hasil kerja.

KARMA PHALA.
Karma adalah perbuatan dan phala adalah hasil; jadi karma phala artinya hasil dari perbuatan. Ini adalah hukum Hyang Widhi, termasuk dalam Pancasrada dan Trikaya Parisuda. Hukum ini bersifat universal berlaku bagi setiap umat manusia di dunia. Hasil pekerjaan berdampak secara nyata (skala) dan tidak nyata (niskala). Wujud nyata banyak berkaitan dengan keduniawian sedangkan wujud tidak nyata berupa ketentraman bathin. Ditinjau dari waktu saat berbuat dengan waktu menerima hasil perbuatan karma phala dibedakan menjadi tiga yaitu :
1) Prarabda karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pula semasa hidup ini.
2) Kryamana karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima di nirwana.
3) Sancita karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pada reinkarnasi berikutnya.
Oleh karena itu bekerjalah sebaik-baiknya agar memperoleh karma phala yang baik. Kehidupan di dunia ini singkat, maka jangan sia-siakan waktu dengan tidak bekerja atau bekerja dengan hasil yang tidak baik.

CATUR PURUSA ARTHA
Bekerja dengan baik adalah bekerja sesuai dengan norma-norma Agama, Susila dan Hukum. Ketiganya terangkum dalam ajaran Catur Purusa Artha yaitu :
1) Dharma: bekerja mengutamakan kepentingan masyarakat sesuai dengan ajaran agama.
2) Artha: pahala dari karma berupa benda-benda keduniawian.
3) Kama: pemenuhan kebutuhan hidup: sandang, pangan, perumahan dan kebutuhan physik lainnya seperti hiburan yang sehat.
4) Moksa: kebahagiaan hidup lahir dan bathin yang menjadi tujuan kehidupan utama.
Catur purusa artha ini urut-urutannya tidak boleh ditukar, misalnya lebih dahulu mengejar artha barulah menuju dharma. Bila demikian halnya maka dapat saja manusia bekerja tanpa pedoman moral yang bersumber dari ajaran Agama, dimana akan menyeret manusia kelembah penderitaan.

Om Santi Santi Santi Om

Sumber

Apa itu "ADA" ? Apa itu "TIADA" ?

Apa itu "ADA" ? 

Apa itu "TIADA" ?

Dikutip Oleh : I Gede Sugiarsa
Betul-betul kurang kerjaan ya? Sebenarnya ini adalah pertanyaan dasar yang coba dijawab oleh para filsuf mulai dari jaman jebot (dan juga masih berlangsung sampai sekarang). Apakah itu ‘ada’? Yang saya maksud dengan ‘ada’ adalah semua hal yang dapat ada atau keseluruhan kenyataan, baik itu yang aktual maupun yang mungkin. Kata ‘ada’ berlaku untuk semua hal sebagai keseluruhan maupun juga yang merupakan bagian darinya. Dengan kata lain, tidak ada kekecualian bagi ide “ada”. Contohnya: Tuhan ada, gelas ada, sapu ada, kucing ada, dan lain-lain. Segala sesuatu yang bukan ketiadaan, ADA. Titik, Itu saja. 

Mungkin ada yang bertanya: Bagaimana dengan hal-hal yang tidak diketahui [dan tidak akan pernah diketahui] oleh manusia, apakah mereka juga ada ? Hal ini misalnya menyangkut planet-planet yang tidak pernah kita ketahui, atau jenis-jenis kehidupan yang tidak pernah [dan tidak akan pernah] diketahui, atau sesuatu yang teramat sangat aneh bagi kita sehingga untuk membayangkannya-pun kita tidak bisa.

Ide ‘ada’ itu mencakup segalanya dan bersifat universal. Ide ‘ada’ ini tidak terbatas hanya pada pengalaman saja, dengan kata lain dia bersifat absolut. Ide ini tidak dapat direduksikan, sehingga pernyataan utama “sesuatu ada” adalah pernyataan absolut tentang sesuatu. Dari ide ‘ada’ diatas kita dapat menarik beberapa prinsip-prinsip dasar tentang konsep ‘ada’. Prinsip-prinsip ini mirip dengan prinsip-prinsip logika Aristoteles dan juga first-principle, dan saya mengambilnya dari beberapa buku tentang epistemologi :
  1. Prinsip Identitas : Apa yang ada, ada; Apa yang tidak ada, tidak ada.
  2. Prinsip Alasan Memadai : Apapun yang ada, mempunyai alasan memadai untuk keberadaannya.
  3. Prinsip Kausalitas/Penyebab Efisien : Apapun yang mulai ada, menuntut adanya suatu sebab efisien.
1. Prinsip Identitas
Kelihatannya prinsip ini hanyalah sesuatu yang kosong atau berupa pengulangan belaka alias tautologi. Bagi kebanyakan orang, prinsip itu sangatlah sederhana dan sangat dasar. Kalau kita menuliskannya dalam bentuk logika formal, maka bentuknya akan menjadi : 

A adalah A; Bukan-A adalah bukan-A. 
Prinsip identitas dalam konsep tentang “ada” adalah pedoman utama dan pertama atas semua gagasan. Dengan kata lain, jika kita tidak mengenalnya maka kita tidak akan mampu menyatakan apapun. Apa yang dinyatakan secara pasti oleh prinsip ini adalah, terdapat suatu perbedaan radikal antara “ada” dan “tidak-ada”. Prinsip ini tidak bisa disangkal karena dia merupakan pernyataan dasar atas segala sesuatu.
Prinsip ini dapat berganti pakaian menjadi prinsip kontradiksi : Tidak sesuatupun yang “ada” sekaligus “tidak-ada”.

2. Prinsip Alasan Memadai
Prinsip kedua inilah yang dulu pernah saya pakai untuk “menghabisi” kepercayaan dalam diri saya dan membangunnya kembali dari puing-puing kehancuran. Apa yang dinyatakan oleh prinsip ini adalah pikiran kita harus menangkap suatu dasar memadai bagi fakta bahwa sesuatu itu ‘ada’. Jika terdapat perbedaan antara ‘ada’ dan ‘tidak-ada’, maka dimanapun dan kapanpun kita mempunyai ‘ada’, maka kita harus mempunyai alasan/dasar yang memadai bagi fakta ‘ada’ tersebut. Jika ada dan tiada berbeda, maka ada sesuatu yang membedakannya secara memadai.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, suatu dasar/alasan yang memadai bagi “ada” bukanlah “ketiadaan”. Tapi yang perlu diingat, prinsip ini tidak berhubungan dengan alasan-alasan dan sebab-sebab relatif yang bisa dilekatkan padanya. Kita mungkin sering mendengar/membaca kalimat-kalimat seperti ini :
"segala sesuatu ada untuk suatu tujuan tertentu"
atau
"Tuhan menciptakan sesuatu untuk maksud tertentu"
Alasan memadai tidaklah sama dengan “maksud” atau “tujuan” dari keberadaan sesuatu. Bukan itu yang dimaksud disini. Alasan memadai disini adalah sesuatu yang lebih dalam dan hakiki, atau dengan kata lain bersifat “dasar”. Harus ada suatu dasar yang hakiki bagi keberadaan sesuatu. 

 

"Tuhan ada"

 

Sesuai dengan prinsip pertama, pernyataan “Tuhan ada” adalah pernyataan absolut tentang sesuatu. Jika kita menerima premis itu, maka “Tuhan ada” bukanlah “Tuhan tidak-ada”. Penegasan ini penting karena kita akan berangkat dari situ. Sesuai dengan prinsip kedua, jika “Tuhan ada” maka harus ada suatu dasar/alasan yang memadai bagi keberadaannya itu. Apakah alasan/dasar memadai bagi “Tuhan ada” ? Dasar dan alasan “Tuhan ada” tidak bisa diletakkan pada sesuatu yang berasal diluar diri-Nya.

Tuhan adalah pengada-tak-terbatas, dan jika Dia ada maka haruslah terdapat dasar memadai bagi pengada tak-terbatas itu. Jawabannya sebenarnya berasal dari konsep tentang Tuhan itu sendiri. Tuhan ada karena kodrat-Nya adalah ADA. Tuhan ada dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri (being-in-itself and being-for-itself). Kita tidak bisa mencari sesuatu diluar keberadaan Tuhan yang dapat dipakai sebagai dasar memadai bagi keberadaanNya.

3. Prinsip Kausalitas/Penyebab Efisien
Prinsip ini (sebenarnya sudah dibahas sedikit diatas) adalah implikasi langsung dari prinsip kedua. Prinsip ini dikenakan HANYA pada pengada-terbatas seperti manusia, benda, binatang, dan lain-lain. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap pengada-terbatas harus mengandaikan bahwa ada dasar/alasan memadai dari luar bagi keberadaannya itu. Pengada-terbatas bukanlah dasar/alasan memadai untuk keberadaanya (dengan kata lain berbeda dengan Tuhan), maka oleh karena itu harus ada dasar di luar dirinya yang menegaskan keberadaannya itu.

Dasar memadai yang berasal dari luar atas keberadaan sesuatu dinamakan “sebab efisien”. Karena keberadaan sesuatu selalu membutuhkan alasan dari luar dirinya sendiri, maka eksistensi sesuatu itu adalah eksistensi relatif. Dia butuh sesuatu yang lain diluar dirinya sebagai dasar akan keberadaannya itu. Bedakan dengan Tuhan yang adalah eksistensi absolut.

Selasa, 27 November 2012

Komitmen untuk Berkomitmen

"Om Suastyastu"

"Ada perbedaan antara minat dan komitmen. Saat Anda tertarik melakukan sesuatu, Anda mengerjakannya hanya jika situasi mengizinkan. Tetapi saat Anda berkomitmen melakukan sesuatu, Anda tidak menerima alasan, hanya hasil" - Anonim

Dear Rekan-rekan Pemuda,
Jika kegiatan kalian belum membuahkan hasil yang maksimal, atau belum memberi manfaat seperti yang kalian harapkan, atau hubungan dengan pasangan yang tengah goyah, ingatlah kembali pada "komitmen awal" pada saat kalian menetapkan tujuan. Berpegang teguhlah pada komitmen tersebut.  

"Sebuah tujuan yang gagal, planing yang tidak terselesaikan, hubungan yang retak, diakibatkan patahnya sebuah komitmen."

Sesederhana itu, sedalam itu, dan sepenting itulah sebuah komitmen. Sukses adalah hasil dari usaha kalian menciptakan dan menjaga komitmen kalian dengan rekan-rekan kalian. Sebuah tujuan tidaklah relevan, angan tak ada gunanya dan harapan tidak lebih dari sebuah gelembung mimpi, sampai kalian benar-benar berkomitmen penuh untuk mewujudkannya. "Komitmenlah yang menginspirasi kalian untuk mengeluarkan kemampuan terbaik kalian"

Komitmen memperlihatkan kepada dunia keseriusan kalian dalam bertindak. Komitmen juga melindungi serta menguatkan kredibilitas dan reputasi kalian. Komitmen memberikan kalian energi, momentum yang tak  pernah berhenti, dan rasa bangga yang tak ternilai. Komitmen juga memberikan kekuatan.Tidak peduli apapun yang kalian hadapi, kelelahan, sakit, atau bencana, kalian tidak akan pernah teralih dari tujuan utama kalian.

Semoga bermamfaat...!!!

"Om Santi Santi Santi Om"

 

Salam sayang dari sahabatmu,
Dee Suarnata & Semua Jajaran Pengurus DPK Peradah Kota Makassar

Masalah Memberi Makna pada Kehidupan

"Om Suastyastu"



"Hindari masalah, dan kamu tidak akan pernah jadi orang yang memecahkannya" - Richard Bach

Rekan-rekan Pemuda,  yang teguh hatinya...
Bagi seekor burung rajawali, salah satu hambatannya untuk terbang lebih cepat dan nyaman adalah udara. Tetapi jika udara itu diambil dan burung tersebut dibiarkan terbang dalam keadaan hampa tanpa udara, burung rajawali itu justru akan jatuh ke tanah dan tidak dapat terbang sama sekali. Hambatan utama yang harus diatasi oleh sebuah perahu bermotor adalah air yang menyentuh baling-baling perahu. Tetapi jika tidak ada air sebagai penahan, perahu ini tentu tidak dapat bergerak sama sekali.

Hukum yang sama juga berlaku bagi  kehidupan kita. Hambatan adalah kondisi yang 'harus ada' bagi kesuksesan. Sebuah kehidupan yang  terbebas dari hambatan dan kesulitan akan mengurangi semua kemungkinan dan daya, sampai ke titik nol, titik dimana kalian tidak memiliki daya dan upaya. Larilah dari masalah kalian jauh-jauh, dan kehidupan kalian akan kehilangan daya kreatif.....!!!, kehidupan kalian tidak mempunyai makna dan arti sama sekali.

Masalah kesehatan yang parah bisa memberikan makna pada dunia pengobatan. Masalah kekacauan sosial dimasyarakat bisa memberi makna pada kebijakan pemerintah. Kita semua memiliki kecenderungan ingin terbebas dari semua masalah dan tanggung jawab. Seolah-olah masalah adalah momok yang menakutkan yang menghantui kita setiap saat. Ketika masalah datang, berikanlah makna baru pada permasalahan itu. sehingga kita menjadi orang yang mampu memecahkan masalah. Sebuah beban kehidupan yang paling berat adalah pada saat kita tidak memiliki apapun untuk dibawa.
semoga bermamfaat...

"Om Santi Santi Santi Om"


Salam sayang dari sahabatmu,
Dee Suarnata & Semua Jajaran Pengurus DPK Peradah Kota Makassar

Senin, 26 November 2012

Menepis Kabut Ketakutan.

"Om Suastyastu"


 "Untuk sukses, keinginan Anda untuk menjadi sukses harus lebih besar daripada ketakutan Anda terhadap kegagalan" - Bill Cosby

Dear Pemuda Terkasih,
Barangkali rekan-rekan tidak menyadari bahwa kalian sering merasa takut. Takut kehilangan pekerjaan, takut  nilai disekolah atau dikampus kalian buruk, takut rencana kalian tidak berjalan dengan baik. Ketakutan dan keyakinan seperti tampak tidak sama, akan tetapi keduanya mempunyai  kesamaan. Keduanya meminta kita untuk  mempercayai sesuatu yang tidak tampak atau tidak dapat kita lihat. Keyakinan kita berkata: 'percayalah pada hal yang positif'. Rasa takut itu hanya bayangan, Hanya bersifat sementara. Ketakutan berkata: percayalah pada hal yang negatif. kegiatan organisasi kalian akan gagal, Kalian akan jatuh.

Jika setiap hari kalian memikirkan ketakutan-ketakutan itu berulang kali, semua itu akan menjadi kenyataan. sebab, alam bawah sadar kalian terstimulasi mengarahkan tindakan-tindakan kalian untuk merealisasi apa yang menjadi ketakutan kalian (tanpa kalian sadari). Ketakutan ibarat kabut, Ia seperti menutupi keseluruhan jalan, tapi sebenarnya tidak. Ketakutan terasa besar. Ketakutan seperti  mengintimidasi kita. Ia seakan memberitahu Kita: 'Kalian tidak akan pernah berhasil, kalian tidak akan pernah bisa melakukannya, Planing kalian akan terhambat karena ada ini, dan itu.'

Nah, Pemuda Terkasih, takala ketakutan datang, balas dan katakan pada ketakutan itu dengan gagah: "Kamu kedengaran menakutkan, Kamu kelihatan kuat sekali. Tapi saya tahu yang sebenarnya! Tidak ada yang berarti pada dirimu. Kamu hanya bayangan semu, saya juga tahu kamu hanya sementara! Segala sesuatu dalam rencanaku mungkin agak kabur, tapi sebentar lagi semuanya akan bersinar".

Kalian mungkin belum melihat hari-hari yang lebih baik di masa yang akan datang, tetapi kalian juga tidak seharusnya membuang energi kalian untuk terus merasa khawatir dengan perasaan takut kalian. Hubungkanlah diri kalian dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa, Brahman adalah sumber kekuatan tertinggi yang tunggal dan gunakan energi itu untuk mempercayai hal-hal positif. Niscaya, hal-hal positif akan datang kepada Kalian.
"Om Anobadrah KrtaVyantu Visvatah".

"Om Santi Santi Santi Om"


Salam sayang dari sahabatmu,
Dee Suarnata & Semua Jajaran Pengurus DPK Peradah Kota Makassar


Yang Harus Dilakukan Oleh Pemuda


Pemuda harus Memiliki Prestasi 



Pemuda Harus Bersatu Padu



 Membangun Asa Dan Harapan



Menjauhi Narkoba Dan Pergaulan Bebas




 
 

Pemuda Indonesia Siap Hadapi Persaingan Global

Menpora Andi Mallarangeng  memberi pengarahan  dalam Temu Nasional dan Seminar Nasional hari  Minggu (25/11) siang, di Wisma Soegondo Djojopoespito, Cibubur, Jakarta Timur. (foto: tyo/kemenpora.go.id)
Jakarta: Menpora Andi Mallarangeng  berharap Alumni Pertukaran Pemuda Antar Negara (APPAN) menjadi ujung tombak menghadapi era globalisasi dalam berbagai bidang persaingan dengan bangsa lain. Harapan ini disampaikan Menpora  pada  peserta Temu Nasional dan Seminar Nasional hari  Minggu (25/11) siang, di Wisma Soegondo Djojopoespito, Cibubur, Jakarta Timur.  "Kalian adalah pemuda terpilih menjadi duta bangsa, tentu memiliki pengalaman dan jaringan yang baik dengan pemuda negara lain,"  kata Menpora.

Acara yang digelar Alummni Pertukaran Pemuda Antar Negara (APPN) ini dihadiri sekitar 150  alumni program pertukaran pemuda Indonesia dengan negara-negara Amerika Serikat, Australia, Kanada, Korsel, Jepang, India dan negara-negara Asia Tenggara. 

Menurut Menpora, APPAN adalah pemuda terpilih dari berbagai daerah mewakli puluhan juta pemuda di Indonesia menjadi duta bangsa di beberapa negara tentu memiliki pengalaman dan jaringan yang baik. "Gunakan pengalaman dan jaringan itu menjadi sebuah ide-ide menghadapi persaingan bebas ini," ujar Menpora. 

Menpora optimis pemuda Indonesia siap menghadapi kompetisi persaingan itu, SDM pemuda kita siap bersaing. Ini dapat dilihat dari hasil karya mereka yang tak kalah baiknya . " Kalau ada yang tawuran atau atau narkoba itu hanya sebahagian kecil saja dari enam puluh juta pemuda Indonesia," katanya. 

Sementara itu, Deputi I Alfitra Salam pada sambutannya saat membuka acara meminta para pengurus APPAN membuat program-program  unggulan dalam menghadapi  Komunitas ASEAN 2015." Dua tahun lagi, 2015, saya tunggu programnya untuk dikerjasamakan," ujarnya. Alfitra juga mengingatkan pentingnya  peranan alumni  dalam memperkuat kapasitas daerah, dan juga memperkuat diaspora Indonensia di luar negeri, dan memperjuangkan nilai-nilai PBB  dalam perjuangan kepemudaan.

Ketua Panitia Elfianto Ambo Raga mengatakan potensi alumni ini perlu diberdayakan mengingat mereka adalah pemuda pilihan saat terpilih menjadi peserta pertukaran pemuda. Kontribusi mereka juga diharapkan dalam membangun bangsa,"Langkah pertama kita akan mendata ulang kembali semua alumni, dari data yang ada kita akan melihat perkembangannya, ujarnya.

Untuk seminar nasional bertema Revitalisasi Peran Pemuda Menuju Bangsa yang Kreatif dan Mandiri, panitia mengundang tiga narasumber yakni Direktur Utama PT. Rajawali Nusantara Indonesia Ismed Hasan Putra , Prof. Firmansyah Staf Khusus Presiden RI dan Ketua Umum KNPI Taufan Eko N Rotorasiko dipandu Farhan Asisten Staf khusus Bidang Pemuda Kemenpora. (win)

SUMPAH PEMUDA


 SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.
Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :
Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Peserta :
  1. Abdul Muthalib Sangadji
  2. Purnama Wulan
  3. Abdul Rachman
  4. Raden Soeharto
  5. Abu Hanifah
  6. Raden Soekamso
  7. Adnan Kapau Gani
  8. Ramelan
  9. Amir (Dienaren van Indie)
  10. Saerun (Keng Po)
  11. Anta Permana
  12. Sahardjo
  13. Anwari
  14. Sarbini
  15. Arnold Manonutu
  16. Sarmidi Mangunsarkoro
  17. Assaat
  18. Sartono
  19. Bahder Djohan
  20. S.M. Kartosoewirjo
  21. Dali
  22. Setiawan
  23. Darsa
  24. Sigit (Indonesische Studieclub)
  25. Dien Pantouw
  26. Siti Sundari
  27. Djuanda
  28. Sjahpuddin Latif
  29. Dr.Pijper
  30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
  31. Emma Puradiredja
  32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
  33. Halim
  34. R.M. Djoko Marsaid
  35. Hamami
  36. Soekamto
  37. Jo Tumbuhan
  38. Soekmono
  39. Joesoepadi
  40. Soekowati (Volksraad)
  41. Jos Masdani
  42. Soemanang
  43. Kadir
  44. Soemarto
  45. Karto Menggolo
  46. Soenario (PAPI & INPO)
  47. Kasman Singodimedjo
  48. Soerjadi
  49. Koentjoro Poerbopranoto
  50. Soewadji Prawirohardjo
  51. Martakusuma
  52. Soewirjo
  53. Masmoen Rasid
  54. Soeworo
  55. Mohammad Ali Hanafiah
  56. Suhara
  57. Mohammad Nazif
  58. Sujono (Volksraad)
  59. Mohammad Roem
  60. Sulaeman
  61. Mohammad Tabrani
  62. Suwarni
  63. Mohammad Tamzil
  64. Tjahija
  65. Muhidin (Pasundan)
  66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
  67. Mukarno
  68. Wilopo
  69. Muwardi
  70. Wage Rudolf Soepratman
  71. Nona Tumbel
Catatan :
Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"
gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.
  1. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat
    di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah
    Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie
    Kong Liong.
  2. 2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau
    Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang
    yaitu :
    a. Kwee Thiam Hong
    b. Oey Kay Siang
    c. John Lauw Tjoan Hok
    d. Tjio Djien kwie

Banyak Pemuda Berjuang untuk Bangsa

JAKARTA, KOMPAS.com-Di tengah berbagai masalah yang merundung negeri ini, kita harus tetap optimistis memandang masa depan. Masih banyak anak-anak muda berintegritas yang berjuang untuk bangsa melampaui kepentingan dirinya sendiri.

"Kita masih punya anak-anak muda pelopor yang memikirkan bangsa melampaui dirinya," kata Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, dalam orasi peringatan "Sumpah Pemuda" yang digelar Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) di Jakarta, Sabtu (27/10) malam.
Dalam orasinya, Anies Baswedan mengatakan, Sumpah Pemuda tahun 1928 merupakan terobosan luar biasa yang melampaui zamannya. Salah satunya, para pemuda menerima bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu.

"Padahal, para pemuda itu berasal dari berbagai daerah dan suku yang memiliki bahasa sendiri-sendiri. Mereka bertahan dengan komitmen itu selama 17 tahun sebelum Indonesia merdeka tahun 1945," katanya.
Semangat semacam itu juga bisa dikembangkan generasi muda zaman sekarang. Salah satu caranya, dengan menjadi bagian dari gerakan memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang merusak bangsa ini.
"Para pemuda harus menjadi bagian dari upaya memberantas korupsi. Kita harus mengembangkan tata cara penuh integritas, dan ini perlu dibuat menjadi gerakan bersama," katanya.
 
Editor: Tjahja Gunawan Diredja
 

Jumat, 23 November 2012

Membalas Budi Orangtua

 Membalas Budi Orangtua
 
Kehidupan setiap orang di permukaan bumi ini tidak lepas dari peranan orangtua. Tanpa orangtua, entah apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Di usia dewasa, kita menyadari betapa banyak hal yang telah dilakukan oleh para orangtua kepada anak-anaknya. Semuanya dilakukan dengan penuh perhatian, penuh kasih sayang dan penuh pengorbanan.


Segala pengorbanan, perhatian, dan kasih sayang orangtua tidak pernah bisa dihitung. Secara materi kita bisa menghitung berapa banyak biaya yang telah kita habiskan dalam kehidupan ini, sejak kecil hingga dewasa, sejak masih di dalam kandungan hingga bisa mandiri sebagai orang yang berpenghasilan secara ekonomi. Dengan pendapatan yang kita peroleh, jumlahnya mungkin bisa terpenuhi namun masih banyak kondisi dan situasi yang tidak bisa dihitung secara nominal.Dalam satu kesempatan, seperti yang tercatat dalam Anggutara Nikaya, Buddha menyampaikan bahwa ada dua orang yang tidak pernah bisa dibalas budinya di dunia ini. Kedua orang tersebut adalah ayah dan ibu kita masing-masing--kedua orangtua kita sendiri.

Dalam kesempatan tersebut Buddha berpesan: “Walaupun seseorang memanggul ibunya di satu bahu dan ayahnya di bahu lainnya, dan saat melakukannya ia hidup seratus tahun, mencapai usia seratus tahun; dan jika ia melayani dengan mengusapi mereka dengan minyak balsam, memijit, memandikan, dan menguruti kaki dan tangan mereka, dan seandainya mereka membuang air besar di situ sekali pun, belumlah cukup yang dilakukannya terhadap orangtuanya dan belum membalas budi mereka. Kedati pun seseorang menempatkan orangtuanya sebagai raja dan penguasa agung atas bumi yang begitu kaya dengan ketujuh hartanya, belumlah cukup yang dilakukannya dan ia belum membalas bumi mereka. Mengapa? Orangtua sungguh berjasa terhadap anak-anaknya; mereka membesarkannya, memberi makan dan menunjukkan dunia kepadanya.”

Bagaimana cara untuk membalas budi atas kebajikan dan kebaikan yang telah dilakukan oleh orangtua kita? Sang Buddha juga memberikan tips yang sebenarnya sangat mudah untuk dilakukan. “Seseorang yang mendorong orangtuanya yang tidak percaya, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam keyakinan; seseorang yang mendorong orangtuanya yang tidak bermoral, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam disiplin moral; seseorang yang mendorong orangtuanya yang kikir, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kedermawanan; seseorang yang mendorong orangtuanya yang gelap batin, menempatkan dan mengukuhkan mereka dalam kebijaksanaan--orang seperti ini, para bhikkhu, telah melakukan cukup untuk orangtuanya. Ia membalas budi mereka dan lebih dari membalas budi mereka atas apa yang telah mereka lakukan.”

Cara yang telah ditunjukkan oleh Buddha Gotama sebenarnya cara yang mudah dan ringan untuk bisa membalas budi orang tua. Anda mungkin tidak bisa melakukan sendiri. Kadang-kadang ada orangtua yang tidak bisa diberikan nasihat atau saran oleh anak-anaknya. Orangtua tetap menganggap anaknya --walaupun sang anak sudah dewasa--sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Ada orangtua yang tidak mau digurui oleh anaknya, merasa anaknya lebih sombong dan memerintah orangtuanya.

Salah satu cara bijak bagi anak-anak adalah mengajak orangtuanya untuk datang ke vihara. Luangkan waktu seminggu sekali untuk menjemput orangtua (bila tidak tinggal serumah) dan mengajaknya pergi ke vihara. Ajak mereka untuk bersama-sama membaca paritta dan artinya. Bukan kita yang mengajari orangtua namun dengan membaca dan mendengarkan sendiri ajaran yang ada dalam partta suci maupun ceramah Dhamma.
Ajak orangtua kita untuk melakukan kebaikan dalam hidup ini dengan menjalankan sila--latihan kemoralan. Dalam kebaktian yang dihadiri bhikkhu, akan berlangsung tuntunan pancasila. Kita juga mengajaknya berbuat baik dengan berdana atau melakukan kebajikan lainnya setiap minggu.

Bila ada kesempatan, arahkan orangtua untuk melatih diri dengan mengikuti latihan meditasi secara intensif. Latihan meditasi akan memberikan manfaat bagi kebahagiaan di hari tua. Pikirannya menjadi tambah tenang, tidak gelisah dan kuatir dalam menghadapi usia tua dengan segala permasalahan yang mungkin muncul. Badannya akan bertambah sehat karena pengaruh pikiran yang tenang. Mereka akan bisa menghadapi hidup lebih tenang dan bahagia di usia senja.

Yang perlu dilakukan hanyalah sebuah langkah kecil dalam kehidupan ini. Memberikan perhatian kepada orangtua kita dengan mengajak mereka ke vihara dan bersama-sama berbuat baik. Anda memberikan yang terbaik dalam hidupnya dan sekaligus berbuat baik untuk diri sendiri.
Tidak ada salahnya Anda mencoba ketika orangtua kita masih bersama dengan mereka. Lakukan langkah kecil ini. Mudah-mudahan Anda belum terlambat.

Atasi Masalah Kehidupan dengan Ilmu



Atasi Masalah Kehidupan dengan Ilmu
Oleh I Ketut Wiana

Dana adhyaynam sabdam
tarka sotrddhamaiua ca.
trayo duhke vighnatanca.
Sidha yosta prakirtitah.

(Wrhaspati Tattwa. 33).

Maksudnya: Belajar terus (dhyayana), terapkan ilmu itu dalam praktek (tarka jnyana) sampai memberikan kontribusi pada kehidupan (dana) itu tiga ciri hidup sukses secara duniawi (wahya siddhi). Dapat mengatasi tiga sumber duka (adhibhautika, adyatmika, adhidaivika dahka) cmi hidup sukses secara rokhani (adyatmika siddhi).

Membangun hidup sukses secara duniawi mentrut Wrehaspati Tattwa 33 ini dengan cara belajar terus (dhyayana), menterjemahkan ilmu itu dalam praktek kehidupañ (tarka jnyana) sampai mampu mewujudkan nilai tambah memberikan kontnibusi pada kehidupan individual dan sosial (dana). Itulah ciri hidup sukses secara duniawi yang disebut wahya siddhi.

Sedangkan hidup sukses secara rokhani atau adyatmika siddhi ada tiga cirinya yaitu: adibhautika duhkha yaitu derita yang berasal dari luar diri, adyatmika duhkha adalah derita yang disebabkan oleh diri sendiri, adidaivika duhkha yaitu derita yang disebabkan oleh karma pada masa penjelmaan sebelumnya. Sukses hidup duniawi dan hidup rokhani diawali dengan menerapkan hidup untuk belajar terus menerus dari tahap hidup brahmacari, grhastha, wanaprastha dan sampai mencapai tahapan hidup sanyasin asrama. Tiap tahapan hidup itu membutuhkan, ilmu yang berbeda-beda sebagai penuntunnya.

Hari suci Galungan dan Kuningan dirayakan oleh umat Hindu di Nusantara ini sebagai bentuk motivasi untuk mengingatkan umat manusia agar menerapkan ilmu itu dengan fokus dan sinergi sebagai upaya menegakkan dharma sebagai dasar meniti kehidupan di bumi ini. Hal itu dinyatakan dalam Sunarigama sebagai pustaka yang menjelaskan tentang perayaan Galungan dan Kuningan.

Perayaan Galungan dan Kuningan sesungguhnya suatu momentum untuk bertemunya para ilmuwan untuk mensinergikan ilmunya dengan fokus, sehingga masyarakat menjadi hidupnya lebih cerah dan terarah mencapai anugrah Hyang Titah atau Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan: “budha kliwon dungulan ngaran Galungan patitis ikang jnyana sandhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep”. Artinya Rabu kliwon dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya ilmu pengetahuan suci (jnyana) supaya masyarakat mendapatkan pandangan yang terang (galang apadang), untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran (byaparaning idep).

Memperhatikan teks lontar Sunarigama itu perayaan Galungan adalah untuk memotivasi umat manusia agar para ilmuwan itu mempraktekkan ilmunya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan. Dalam Canakaya Nitisastra V.8 ada dinyatakan: “abhyasad dharyate vidya”: artinya peliharalah ilmu itu dengan mengamalkannya sampai menjadi tradisi. Dalam Sloka 9 ditegaskan lagi: “vidya yogena raksyate”: Peliharalah ilmu suci itu dengan melakukan ajaran Yoga. Yoga itu ada dua sasarannya yaitu hatha yoga untuk membangun hidup sehat secara jasmaniah dan raja yoga untuk membina hidup sehat secara rokhani.
Perayaan hari raya Galungan ini akan menjadi amat mulia kalau sebelum perayaan dalam wujud ritualnya, dilakukan pertemuan para ilmuwan yang berada di setiap desa atau banjar. Pertemuan itu untuk memberikan peran serta para ilmuwan tersebut untuk berbuat berdasarkan ilmu yang dimiliki.

Peran serta para ilmuwan atau para jnyanin untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Permasalahan yang ada dirumuskan dengan baik itu untuk diselesaikan tahap demi tahap. Dengan demikian permasalahan demi permasalahan diatasi dengan sebaik-baiknya. Dengan memberi peran para ilmuwan yang ada disertai oleh semua pihak maka berbagai persoalan akan teratasi berdasarkan kajian ilmu pengetahuan secara benar dan tepat.

Semua ilmuwan itu agar bekerja secara terpadu dan bersinergi satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan berbagai komponen atau stake holder yang ada di desa bersangkutan. Bersinerginya para ilmuwan itulah yang sesungguhnya diharapkan oleh lontar Sunarigama dalam merayakan Galungan dan Kuningan.
Peran serta yang terus menerus dari para ilmuwan (para jnyanin) itu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kehidupan bersama di setiap lingkungan yang ada. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan bahwa Sugian Jawa dirayakan untuk memotivasi umat agar menjaga kelestarian bhuwana agung. Sugian Bali untuk melestarikan bhuwana alit atau manusia secara individual.

Embang Sugi untuk merekonstruksi kembali penerapan ilmu tersebut (anyekung jnyana nirmalakna), penyajaan untuk mengingatkan jangan lupa berdoa untuk mohon anugerah Tuhan (matirtha gocara) dalam berupaya mengamalkan dharma agar sukses. Penampahan Galungan dinyatakan dalam Sunarigama “natab sesayut pamyakala lara melaradan” atau sesayut Penampahan untuk memotivasi umat agar membangun kemampuan wiweka jnyana atau kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang tepat, kurang tepat, mana yang benar dan yang salah, mana yang pantas dan tidak pantas, dst.

Semua tema-tema perayaan Galungan itu terdapat dalam Lontar Sunarigama tersebut. Tema tersebutlah diimplementasikan dalam berbagai kegiatan hidup bersama. Dengan demikian pemaknaan Galungan akan lebih sukses selain dirayakan dengan ritual sakral yang sudah menjadi tradisi itu. Misalnya di daerah Bali masalah kelestarian hutan, sungai dan sumber mata air lainnya, masalah sampah sudah semakin terganggu.
Demikian juga sudah banyak adat-istiadat yang perlu ditinjau relevansinya sebagai media pen-tradisian ajaran kitab suci Weda. Seyogianya ada proses utpati, sthiti dan pralina dalam memelihara adat-istiadat tersebut. Maksudnya agar dapat adat-istiadat itu selalu segar (nutana) sebagai media pengamalan ajaran Agama Hindu tersebut.

Tantangan Budaya Lokal, Perubahan Tak Dapat Dielakkan




TANTANGAN BUDAYA LOKAL

Perubahan Tak Dapat Dielakkan
Oleh: AGNES RITA SULISTYAWATI & M HERNOWO

Bai Salasa Kerei, warga Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tidak ingat persis tahun berapa tato digambar di tubuhnya. Yang diingatnya, dia tidak punya banyak pilihan selain menuruti kehendak kakaknya agar badannya dirajah.
Bai hanya ingat ketika tato digambarkan di sekujur tubuhnya, dia masih berumur belasan tahun dan belum menikah dengan Aman Salasa Kerei.

Saat itu, Bai tidak dapat menolak tubuhnya ditato karena— bagi orang Mentawai—tato menyimbolkan pemiliknya berasal dari keluarga berada. Sebab, penatoan didahului dengan upacara adat atau punen enegat, yang diikuti masyarakat satu kesukuan. Tuan rumah bertanggung jawab menyediakan makanan bagi para tamu punen. Saat punen, seekor babi—ternak yang menjadi ukuran kekayaan masyarakat Mentawai—dipotong dan dimakan bersama. Sipatiti—orang yang menato—berhak membawa pulang seekor babi seusai mengerjakan tugasnya.

Bagi sikerei atau dukun di Mentawai yang bertugas mengobati orang sakit, tato juga menyimbolkan keabadian. ”Kalau saya meninggal, seluruh hiasan sikerei ini harus ditanggalkan. Tinggallah tato di tubuh yang dibawa ke liang kubur. Tato inilah pakaian abadi kami,” ucap Teuk Kerei, seorang sikerei asal Tinambu, Kecamatan Siberut Selatan.
Namun, penatoan yang dilakukan dengan menusukkan jarum kayu ke kulit dan kemudian diikuti dengan memasukkan campuran arang dan sari pati tebu ini menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Rasa sakit ini membuat Bai Salasa Kerei tidak melanjutkan penatoan hingga ke kaki.

Kekhawatiran terhadap rasa sakit itu pula yang membuat Aman Jazali, sikerei dari Butui, Desa Madobag, Siberut Selatan, memutuskan tidak menato tubuhnya. ”Lagi pula, sekarang juga tidak ada keharusan bagi sikerei untuk menato tubuhnya,” kata sikerei yang masih berumur sekitar 35 tahun ini.

Mulai ditinggalkan
Aman Jazali tidak sendirian. Generasi muda Mentawai pada umumnya sekarang memang enggan menato tubuhnya. Selain tidak kuat menahan sakit, tidak adanya biaya untuk pesta juga sering disebut sebagai alasan tidak lagi ditato.

Kurangnya peminat tato ini berdampak makin sedikitnya sipatiti. Bahkan, lantaran tidak ada lagi sipatiti yang bisa memahatkan garis-garis tato, Bajak Kamid, sikerei dari suku Sakoddobat di Tinambu, Siberut Selatan, terpaksa membiarkan tubuhnya polos tanpa tato.
Sebenarnya, tato mulai ditinggalkan warga Mentawai sekitar tahun 1955, ketika negara mencabut dukungan atas kepercayaan asli masyarakat Mentawai, yaitu Arat Sabulungan. Negara selanjutnya meminta pemeluk Arat Sabulungan memilih satu dari lima agama ”resmi”. Dampaknya, semua peralatan yang digunakan untuk ritual Arat Sabulungan, termasuk tato, dimusnahkan.

Peneliti tato Mentawai dari Universitas Negeri Padang, Ady Rosa, melihat, pencitraan tato juga sempat terpuruk ketika masyarakat umum mengidentikkan pemakai tato sebagai preman. Selain mulai enggan menato tubuhnya, generasi muda Mentawai kini juga jarang yang memakai kabbit, cawat dari kulit kayu baikko. Kabbit memiliki makna tertentu, seperti yang dipakai sikerei harus diwarnai dengan memakai getah kulit bakao agar berwarna merah.
Alasan ”kepraktisan” juga membuat sejumlah warga Mentawai mengubah beberapa tradisi dalam uma mereka. Misalnya, banyak dinding uma sekarang dibuat dari papan, bukan dari kulit kayu meranti.

Darmanto, peneliti tentang Mentawai, melihat lunturnya berbagai tradisi di Mentawai diakui menggerus Mentawai yang sekian lama ”menarik” di mata wisatawan. Tradisi, pantai yang indah, ombak besarnya, dan keragaman hayatinya adalah daya tarik itu.


Namun, perubahan adalah keniscayaan bagi Mentawai. Termasuk pengaruh televisi untuk sebagian wilayah yang berlistrik di sana. Perubahan sulit dicegah karena warga Mentawai bukan komunitas yang sengaja membentengi diri dari dunia luar, seperti warga Badui di Banten atau suku Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Menurut Darmanto, memaksa warga Mentawai setia kepada kebiasaan mereka, seperti memakai kabbit dan menato tubuh, apalagi demi eksotisme, adalah kurang tepat. Orang Mentawai harus merdeka menentukan hidupnya sendiri, termasuk memilih kemajuan yang mereka inginkan.

Kewajiban negara menjaga agar warga Mentawai tetap memiliki hak atas miliknya, seperti tanah, hutan, dan kearifan adatnya. Susahnya, ancaman terhadap warga Mentawai sebagian besar justru datang dari kebijakan negara, seperti keputusan pemerintah memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) di Mentawai kepada sejumlah perusahaan.

Lokasi HPH sering bertabrakan dengan lahan adat suku Mentawai dan pengelolaan HPH sering pula tak sesuai dengan kearifan lokal orang Mentawai. Misalnya, pengelola HPH mengambil semua kayu, padahal tradisi Mentawai hanya mengizinkan pengambilan kayu yang sudah besar dan keras serta tidak dengan dibakar.

Padahal, seperti disampaikan Selester Sageruwjuw, warga Dusun Rogdog, Siberut Selatan, yang mereka butuhkan di tengah perubahan saat ini adalah adanya kesempatan menanamkan nilai kearifan adat dan budaya Mentawai kepada kawula mudanya. Jika keleluasaan ini tetap dimiliki, orang Mentawai tetap dapat merasakan kemerdekaan dari Indonesia yang sudah berumur 64 tahun ini.

Sumber

Prinsip Keturunan Sistem Purusha Di Bali




Prinsip Keturunan Sistem Purusha Di Bali
(Ditinjau Dan Sudut Kebudayaan)
Oleh: Dra. S. Swarsi Geria, Gianyar

Topik pembahasan di atas muncul dan pertanyaan yang secara pribadi ditujukan pada saya pada saat Sarasehan Rwa Bhineda dalam PKB XXXIII. Pertanyaan mengapa di Bali menganut sistem Purusa? Penulis mencoba menjawab pertanyaan tersebut ditinjau dari sudut kebudayaan.

I. Asal Mula dan Perkembangan Keluarga Manusia
Asal mula perkembangan keluarga dalam masyarakat dimulai dan kehidupan manusia secara nomaden (berpindah-pindah). Pada saat itu manusia hidup serupa sekawan berkelompok, laki-laki dan perempuan hidup tanpa diikat oleh norma susila dan melakukan hubungan intim serta melahirkan keturunair tanpa ikatan.

Keluarga inti (nuclear family) sebagai inti masyarakat belum ada, hal ini merupakan tahap pertama dalam kehidupan masyarakat. Manusia lambat laun sadar akan hubungan si ibu dengan anak-anak mereka. Pada saat itu anak-anak mereka hanya mengenal ibunya, sedangkan sang ayah dengan bebas untuk berpindah-pindah di kelompok satu ke kelompok lainnya. Menurut Wilken kelompok keluarga tersebut menghitung garis keturunan dari keluarga ibu yang disebut keadaan matriarchaat.

Selanjutnya pada tingkatan berikutnya pada laki-laki puas dengan keadaan tersebut. Mulailah laki-laki tersebut mengambil calon istrinya dan kelompok lain dan membawanya ke kelompok mereka sendiri. Keturunan mereka tetap tinggal pada kelompok keluarga laki-laki (pada kelompok keluarga sang ayah) lambat laun pada keluarga tersebut, sang ayah disebut patriachaat. Prinsip keturunan tersebut sangat berpengaruh pula pada masyarakat Bali. Pada masyarakat Bali yang menganut agama Hindu sampai sekarang menganut prinsip keturunan patriachaat. Sering disebut dengan istilah purusa (garis keturunan pada sang ayah/laki-laki). Prinsip keturunan purusa di atas akan berpengaruh pada adat menetap setelah menikah, berpengaruh pada adat-istiadat lainnya, seperti pada upacara daur hidup, upacara ngaben (upacara kematian), bahkan sampai berpengaruh pada sistem kepercayaan (reinkarnasi), lanjut pada Pura Dadia.

II. Pengaruh Prinsip Keturunan Patriachaat/Sistem Purusa pada Masyarakat Bali

1) Pengaruh yang nampakjelas pada adat menetap setelah menikah.
Adat menetap setelah menikah yang terkait dengan sistem purusa adalah adat virilokal. Adat virilokal adalah pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Kalau pada masyarakat Bali adat menetap setelah menikah pada keluarga suami, bahkan bersama-sama tinggal satu rumah bersama mertua, ipar maupun keluarga lainnya dari pihak suami. Hal inipun akan berpengaruh pada pola tingkah laku anak-anak tersebut yang cenderung dan bahkan pasti akan mengikuti sepenuhnya adat-istiadat dari pihak suami (dan pihak Ayah). Sedangkan kerabat Ibu (wanita) amat sedikit memberikan pengaruh pada kehidupan anak-anak mereka. Seandainya ada yang cenderung ke kehidupan pihak Ibu (wanita) sering orang tersebut diejek dengan istilah Paid Bangkung. Namun sekarang dengan adanya pengaruh pendidikan, hal tersebut sudah mulai ada perubahan, dimana pada keluarga yang terdidik sudah mulai secara perlahan menganut sistem bilateral (adat menetap bilokal) bisa berganti-ganti tinggal pada kerabat suami/istri.

2) Pengaruh pada Upacara Daur Hidup dan Upacara Kematian Upacara daur hidup dimaksudkan dari upacara magedong-gedongan sampai upacara perkawinan. Dengan sistem purusa di atas amat berpengaruh pada pelaksanaan upacara. Pelaksanaan upacaranya sudah jelas pada pihak keluarga ayah (suami). Pada saat upacara tradisional paling nunas tirta pada sanggah/merajan sang ibu, lainnya sepenuhnya dilaksanakan pada keluarga suami/ayah.
Contoh : pada upacara ngaben sampai ngenteg linggih semua dilaksanakan pada keluarga suami, dan sang istri masuk bagian leluhur dari keluarga suami.

3) Pengaruh pada Sistem Kepercayaan (Reinkamasi)
Salah satu kepercayaan agama Hindu adalah adanya kepercayaan Purnabawa (reinkarnasi). Kepercayaan Purnabawa adalah suatu kepercayaan dimana adanya istilah numadi, menitis; kelahiran seorang bayi akan ada yang numadi, disebut juga dengan istilah Mepuayangan. Anak di A lahir, ane meyang Pekak, Kumpi atau yang lain pasti dari kerabat laki-laki (ayah), tidak pernah yang numadi itu dari kerabat Ibu (wanita) walaupun Ibu pun punya andil pada keturunannya.

4) Pengaruh pada Pura Dadia
Garis keturunan purusa di Bali juga berpengaruh pada penentuan kelompok pura keluarga luas yang merasa berasal dari seorang nenek moyang, leluhur yang sama dan terikat dengan garis keturunan laki-laki (ayah). Pura Dadia di Bali ditentukan oleh garis keturunan ayah, contoh : kalau seseorang wanita Bali kawin dengan kerabat klen Pande sudah pasti mengikuti Pura Dadia Pande, tidak mengikuti pura dadia wanita. Kecuali perkawinan yang dilaksanakan itu nyeburin pekidih. Adat menetap nyeburin ini tergolong pada adat menetap uxorilokal adalah sang laki-laki (penganten) tinggal menetap pada pusat kediaman kaum istri/wanita. Perkawinan nyeburin ini jarang dilaksanakan di Bali, biasanya nyeburin inipun akan memilih wanita yang satu klen/satu sanggah (merajan). Demikian sekelumit tentang Sistem Purusa dalam prinsip keturunan di Bali.

Sumber

Rabu, 21 November 2012

Kisah si “GANESH”




Kisah si “GANESH”
 Suatu hari Dewi Parwati ingin mandi, maka dia panggil pengawal, tapi pengawal sedang tidak ada. Lalu dia panggil anak laki-lakinya yang ternyata juga sedang pergi. Akhirnya dipanggilnya anak angkatnya yang bernama Ganesh (kalau di Indonesia sepertinya disebut Ganesha atau Ganesa). Lalu dia berpesan: “Ganesh, Kau jaga pintu di depan rumah, Ibu mau mandi, jangan biarkan seorangpun juga memasuki rumah ini ketika ibu sedang mandi”. Ganesh si anak angkat yang patuh itu pun mengangguk dan duduk berjaga di depan pintu. Tak lama kemudian ketika Dewi Parwati sedang mandi, kebetulan Bhatara Shiwa (Dewa Shiwa) datang dan hendak memasuki rumah. Ganesh, sesuai perintah ibu angkatnya tentu saja tidak mengizinkan.
 
Bhatara Shiwa lalu marah, “Kenapa saya tidak boleh memasuki rumah ini?”.
 
Ganesh menjawab: “Ibu sedang mandi, dan beliau berpesan agar saya tidak mengizinkan satu orang pun memasuki rumah ini ketika beliau sedang mandi”.
 
Bhatara Shiwa bertambah marah: “ Saya akan memasuki rumah ini, tidak boleh ada yang melarang!”.
 
Ganesh tetap menghambat, sehingga Bhatara Shiwa makin marah. Ia lalu menghunus senjatanya sambil bertanya:”Kamu tahu siapa saya?”
 
Ganesh dengan tenang menjawab: “TIDAK”. Karena dia memang tidak tahu.
 
Kemarahan Bhatara Shiwa mencapai puncaknya, ia berseru: “Saya adalah Bhatara Shiwa, yang punya rumah ini!” Lalu dengan sekali tebas, kepala Ganesh sudah terlepas kena pancungan Bhatara Shiwa.
 
Ketika Dewi Parwati selesai mandi dan mengetahui apa yang terjadi, ia marah kepada Bhatara Shiwa. “Kamu sadar bahwa kamu telah membunuh seorang anak yang tidak bersalah? Dia melarang itu hanya karena menuruti perintah saya”. Bhatara Shiwa terdiam, lalu Dewi Parwati memberi ultimatum bahwa Ganesh harus dihidupkan kembali.
 
Menurut kepercayaan mereka waktu itu, Kalau ada orang meninggal karena terpancung, dan jika ada orang lain yang ‘pertama’ lewat disekitar itu lalu diambil kepalanya (dengan cara dipancung juga) kemudian kepala orang kedua dipasangkan ke badan orang yang pertama, maka orang yang pertama tadi bisa hidup kembali. Maka Bhatara Shiwa lalu menyuruh semua pengawal berpencar di sekitar rumah Dewi Parwati (yang sebenarnya juga rumah Bhatara Shiwa) untuk mencari orang yang kepalanya bisa dipasangkan ke badan Ganesh. Ternyata setelah waktu berapa lama, tidak ada juga orang yang lewat di sana.
 
Ketika harapan sudah hampir pupus, tiba-tiba seekor gajah lewat. Apa boleh buat, yang ‘pertama’ lewat ternyata bukan manusia, tetapi gajah. Pengawal dengan sigap memenggal kepala gajah lalu memasangkannya ke badan Ganesh. Ganesh pun hidup kembali, walaupun dengan kepala gajah.
 
Apakah Ganesh kemudian marah? TIDAK. Dia tidak menyesali ibu angkatnya, walaupun ia terpancung karena menjalankan perintah ibunya itu. Ganesh juga tidak menyalahkan Bhatara Shiwa yang memancung kepalanya, karena Bhatara Shiwa hanya ingin memasuki rumahnya sendiri. Apakah Ganesh menyesali keadaannya? Juga TIDAK. Dia hanya bersyukur bisa hidup kembali walaupun dengan kepala yang sudah berganti. Tidak ada dendam dan penyesalan pada diri Ganesh. Dia hanya ingin tetap menjadi anak yang baik dan patuh kepada orang tuanya.
 
Keadaan ini akhirnya membuat Ganesh di boyong ke istana Bhatara Shiwa dan dijadikan pengawal kerajaan. Suatu hari dia akan mengawal Dewi Parwati dan anggota keluarga lainnya. Ketika semua naik burung Garudh (kalau di kita mungkin maksudnya garuda), ternyata Ganesh tidak kebagian tempat dan hanya naik burung biasa. Ketika yang lain bisa berjalan-jalan sejauh mungkin, Ganesh dengan kondisi dan posisinya hanya bisa berputar-putar di sekeliling istana. Semua itu dijalani Ganesh tetap dengan tawa dan ceria, tanpa harus merasa rendah diri. Wajahnya memang telah berubah menjadi si buruk rupa, tapi tidak hatinya. Ia tetap bekerja dan melaksanakan setiap tugasnya dengan sungguh-sungguh dan membantu setiap orang yang membutuhkannya.
 
Akhirnya hati Bhatara Shiwa pun luluh dan bersabda: “Ganesh, selama hidupmu, dimanapun kau berada, kamu akan selalu bermanfaat bagi orang-orang yang ada di sekeliling kamu!”
 
Begitulah kira-kira ‘inti’ dari legenda Ganesh yang diceritakan peneliti dan ahli kebudayaan Asia, Dr. Bachchan di ruang kerjanya, ketika saya berkunjung ke kantornya di Indira Gandhi National Center, New Delhi, dua bulan yang lalu.
 
Sebenarnya beliau mengundang saya waktu itu hanya untuk membicarakan tentang kegiatan ASF, dan memberikan beberapa nasehat dan wejangan, ketika tiba-tiba saya melihat gambar Ganesh di salah satu sudut ruangannya dan spontan saya bertanya, karena setahu saya di ITB juga ada ‘gajah duduk’ (walaupun yang saya lihat di ruangan pak Bachchan itu si Ganesh berupa manusia yang sedang duduk dengan kepala gajah yang utuh, tapi badan, tangan dan kakinya normal). Agak berbeda dengan yang saya lihat di ITB, karena “Ganesa” yang lambang ITB setahu saya salah satu gadingnya patah, ia menyandang kapak, selendang dan memegang buku, dan… cawan??, yang pastinya semua itu juga punya makna tersendiri bagi orang-orang ITB (saya bukan orang ITB, jadi mohon di koreksi oleh orang-orang dari ITB kalau saya salah).
 
Diskusi lalu beralih ke Ganesh.
Beliau (Bachchan) lalu bilang: Lihatlah my sister, betapa banyak filosofi dan pelajaran hidup, yang ternyata dapat kita petik dari kisah si Ganesh ini, antara lain:

1) Cerita Ganesh mengajarkan kita agar teguh memegang amanah. Lihatlah betapa Ganesh yang sudah berjanji untuk melaksanakan perintah ibu (angkat)nya, benar-benar teguh dan bertanggung jawab sekalipun ia harus kehilangan kepalanya.

2) Cerita Ganesh juga mengingatkan kita agar jangan cepat mengambil keputusan atau bertindak ketika pikiran dan perasaan masih sedang diliputi emosi. Lihatlah Bhatara Shiwa yang akhirnya juga menyesal karena terlanjur memenggal kepala si Ganesh.

3) Kita diingatkan agar tidak mudah menyalahkan orang lain ataupun berburuk sangka atas apa yang menimpa diri kita. Ganesh tidak pernah menyesali Dewi Parwati yang telah membuat kepalanya terpancung, dan juga tidak menyalahkan Bhatara Shiwa yang memancung kepalanya.

4) Ganesh juga mampu membuang jauh-jauh rasa dendam dalam hatinya atas apa yang telah terjadi dan menimpa dirinya.

5) Ganesh bekerja tanpa pamrih, walaupun fasilitas yang diterima kadang-kadang kurang sesuai dengan yang seharusnya, ia tetap bekerja sebaik-baiknya dan tidak menuntut macam-macam.

6) Ganesh boleh saja wajahnya si buruk rupa, tapi tidak untuk hatinya.

7) Ganesh mengajarkan agar hidup itu tetap dijalankan dengan ceria dan optimisme, dan berbuat yang terbaik sesuai kemampuan kita walaupun kita punya keterbatasan, baik keterbatasan fisik, pikiran, tenaga ataupun harta.

8) Ganesh mengajarkan agar kita tidak mudah menyerah, apalagi rendah diri dengan kekurangan yang ada, tetapi justru mengoptimalkan potensi yang dimiliki, tanpa perlu merasa sombong, hebat atau benar sendiri.

9) Ganesh juga mengajarkan bagaimana menjadi orang yang selalu berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain, dimanapun ia berada.
 
Yah...., Saya terdiam. Betul yang dinasehatkan senior saya itu, memang alangkah indahnya mungkin dunia ini kalau kita bisa mempunyai sifat-sifat Ganesh di atas. Semoga Tuhan mengarahkan kita ke jalan dan kehidupan yang lebih baik.
 
Beliau yang juga pernah tinggal di Indonesia selama beberapa bulan untuk meneliti itu lalu melanjutkan. ”Mungkin itulah sebabnya, salah satu perguruan tinggi di negaramu di Bandung sana, ITB, juga menjadikan Ganesh sebagai ’icon’ nya. Barangkali dengan tujuan agar lulusannya adalah orang-orang yang juga luar biasa seperti Ganesh.”
 
”Ya..., saya kira juga begitu”, jawab saya.

Sumber