Mungkin benar orang bilang bahwa untuk menemukan cinta
sejati itu memang sulit. Bukan hal yang mustahil memang, tapi sungguh tidak
mudah. Telah lama aku mencoba menemukan apa yang disebut oleh banyak orang
sebagai cinta sejati. Namun sampai sekarang aku tak juga mendapatkannya. Bagai
mencari satu jarum yang jatuh pada tumpukkan jerami bekas memanen padi para
petani adalah istilah yang cocok untuk menggambarkannya.
Berawal dari cinta monyetku saat aku berusia dua belas
tahun terhadap bawo anak ketua RT kampungku. Aku mencintainya saat itu karena
betapa seringnya kami bertemu yaitu dari sejak kecil usia SD saat kami ikut
belajar menari dibale banjar, sampai akhirnya saling jatuh hati pada saat aku
memasuki kelas satu SMP. Bawo mengungkapkan cinta melalui surat kepadaku, dan aku menerimanya karena
dia bukan cuma ganteng tapi juga cerdas dan pintar.
Tidak lama hubunganku dengan Bawo
bertahan. Hanya sekitar satu tahun saja kami
pacaran. Sampai pada akhirnya kami putus setelah ada seorang perempuan
menginginkannya dan Bawo takluk sehingga membuatnya memutuskanku. Cinta
pertamaku kandas diambil teman sekelas.
Setelah putus dari Bawo aku tidak
menerima siapapun yang menginginkanku menjadi pacarnya. Aku pikir semua lelaki
sama, setelah menemukan yang lebih dariku maka dia akan meninggalkanku. Aku
lebih memilih untuk konsentrasi belajar sehingga aku bisa lulus dan masuk di
SMA terbaik di daerahku. Dan aku berhasil sampai lulus dengan nilai yang
memuaskan sehingga bisa masuk di SMA impianku.
Di SMA itu aku mendapatkan teman baru
yang banyak. Dan oleh karena ketatnya seleksi untuk masuk ke SMA nomor satu di
Singaparna itu, maka murid-muridnya bisa dibilang mempunyai kemampuan otak yang
bisa dibilang lumayan. Aku duduk sebangku dengan teman baruku bernama ajeng.
Wajahnya cantik, hidungnya mancung mirip dengan perempuan-perempuan eropa.
Kami sangat akrab sehingga tak ada
rahasia di antara kami yang saling kami sembunyikan, termasuk aku yang sedang
jatuh cinta pada seorang lelaki bernama Oka yang aku kenal saat MOS (Masa Orientasi
siswa).
“Oka itu adalah penyemangat, Ajeng…”
Aku bilang kepada Ajeng saat kami duduk di kantin sekolah ketika jam istirahat.
Jam sepuluh. Matahari sembunyi di
balik awan, dan langit begitu mendung. Mungkin hujan akan segera turun untuk
menyirami kering tanah yang sudah seminggu kemarau.
“Iya, aku paham. Tapi yang jadi
masalah sekarang adalah, Oka sudah punya pacar.” Ajeng.
“Aku gak peduli Say, aku akan
menunggu dia putus dari si Kerty yang sok cantik itu. Atau kalau perlu aku sendiri yang akan membuatnya putus. Lihat saja.” Aku
ngotot, dan Ajeng sudah mengerti karakter asliku yang pengotot walaupun kami
bersahabat masih seumur jagung.
“Ya sudah terserah kamu saja. Namun
satu hal yang harus kamu ketahui, adalah tidak bisa memaksakan orang lain untuk
mencintaimu. Cinta itu mengalir apa adanya dan tanpa paksaan. Jika cinta karena
terpaksa, maka aku yakin pasti tak akan bisa langgeng.” Ajeng memang begitu
baik dan sabar menghadapiku yang kadang seperti api yang meluap. Seringkali dia
mengingatkanku. Ajeng lebih dewasa dariku, aku akui itu.
***
“Ajeng!!” Aku lihat Ajeng sedang
duduk di taman kota singaparna. Hari itu libur karena sekolahku dijadikan
tempat untuk rapat seluruh guru SMA yang ada di kota itu, dan aku berencana
untuk hang out dengan seseorang yang baru dua hari menjadi pacarku.
“Sari?!”Ajeng terkejut ketika melihat
aku menggandeng Oka.
“Iya, ini aku. Jangan kaget gitu
dong… Lagi ngapain di sini?“ Ajeng bersalaman dengan Oka, dan mereka saling
senyum.
“Cieee, pada mau ke mana nih. Ekhm ekhm!”
Ajeng menggodaku. “Aku lagi nungguin mamaku, lagi belanja di pasar. Daripada
aku ikut ke pasar berdesak-desakkan, mending aku nungguin di sini aja. Lagian mamaku ditemenin sama bibiku juga.” Taman Kota
Singaparna memang berdekatan dengan pasar tradisional.
“Aku mau jalan, mumpung lagi libur.”
Jawabku senyum, dan Oka tidak banyak berbicara. Mungkin karena belum kenal
dekat dengan Ajeng. Kami bercakap sebentar lalu aku pergi bersama Oka dengan
tujuan sebuah tempat rekreasi air terjun yang ada di pinggiran kota singaparna.
Kebetulan saja kami berhenti dulu di taman alun-alun itu untuk sekedar
berjalan-jalan sebelum ke tempat yang sudah direncanakan olehku dan Oka.
Setibanya di lokasi rekreasi, Oka
memarkir motor Mio berwarna hitamnya di tempat yang sudah disediakan. Kulihat jam di tangan menunjukkan pukul 11.25. Setelah
membeli tiket, kami lalu masuk. Lokasi permandian umum itu terlihat sepi, sepertinya
kami adalah orang pertama yang masuk.
Di tempat itulah segala hal dimulai.
Kami melakukan hal yang tidak seharusnya kami lakukan untuk pertama kali. Saat
itu semua terasa indah, tapi tidak di kemudian hari. Setelah kami melakukan
hubungan intim beberapa kali, pada akhirnya aku dan Oka putus. Aku prustasi dan
hanya Ajeng lah yang mengetahui tentang segala yang terjadi antara aku dan Oka.
Hal itu terjadi sekitar delapan tahun
yang lalu, hingga sampai saat ini aku berusia dua puluh enam tahun, aku belum
juga menemukan seseorang yang mau menerimaku apa adanya, menerima ketidak
perawananku. Ada banyak yang mendekatiku, namun setelah mereka tahu aku tidak
perawan karena telah aku ceritakan kepadanya tentang kisahku di masa lalu,
mereka lalu meninggalkanku.
Namun kini aku tengah berusaha yakin
dengan seseorang bernama Bayu. Dia bilang akan
mencintaiku apa-adanya dan akan menerima segala kekuranganku, termasuk ketidak
perawananku. Aku sudah katakan kepadanya sejak awal kami jadian. Aku ceritakan
kepadanya tentang kisah masa laluku dan dia terima dengan biasa saja, tidak
mempermasalahkan dan seolah tak peduli.
“Sayang, aku mencintaimu dengan
sederhana dan biasa saja. Tidak akan
pernah aku masalahkan masa lalumu dan kamu aku cintai apa adanya.” Oh Bayu, kamu memang paling bisa membuatku melayang dengan
indahnya tuturmu. Kamu membuatku kembali menemukan kepercayaan kepada manusia
bernama lelaki. Aku berharap semoga kamu tidak pernah berubah mencintaiku
sehingga aku menjadi seorang perempuan yang merasa dihargai.
“Bagaimana kalau nanti malam kita
pergi ke luar untuk malam mingguan…” Ajak bayu sabtu sore yang teduh itu. Aku
tidak kuasa untuk menolaknya karena aku merindukan saat berdua dengan orang
yang aku cintai. Apalagi ini adalah kamu yang telah mengikrarkan dirimu untuk
mencintaiku apa adanya. Pasti akan jadi malam Minggu yang berkesan.
Jam tujuh malam Minggu yang cerah itu
Bayu menjemputku dengan motor Ninja 250R-nya. Kami lalu pergi menuju Pinggir
pantai, yaitu tempat di mana anak-anak muda berkumpul bersama pasangannya.
Sesampainya di sana, Bayu mencium
bibirku dengan hangatnya sehingga membuatku hanyut pada lumatan demi lumatan. Suasana tempat memang tidak begitu gelap dan tidak
begitu terang. Dan kami menghabiskan malam itu di tempat yang tidak begitu
terang. Setelah puas berpeluk cium dan berbincang mengenai banyak hal, kami
lalu pulang. Rumahku dan rumah Bayu tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua puluh
menit kalau memakai motor dengan kecepatan rendah. Dan sebelum sampai ke rumah
sekitar jam sepuluh malam, kami mampir di rumah Bayu untuk mengambil sesuatu
yang ingin diberikannya untukku. Di rumahnya Nampak sepi karena kebetulan orang
tua Bayu sedang menginap di rumah saudaranya yang berada di Luar kota.
“Ada yang ingin aku berikan kepadamu
sayang, kemarilah…” Bayu mengajakku ke kamarnya. “Tutup matamu sayang…” aku
tidak menolaknya, dan Bayu mendaratkan bibirnya di bibirku dan menidurkanku di
tempat tidurnya.
“Bayu… kamu mau apa sayang…” Aku
berusaha melepaskan diri dari pelukan eratnya dan bibirnya yang tidak berhenti
menciumi bibir dan leherku. Aku
menggelepar. Ada perasaan risih, dan ingin lepas. Tapi tidak bisa. Aku
meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bayu pasti akan menikahiku karena dia telah berjanji akan menerimaku apa
adanya. Aku menyerah. Aku pikir, tidak
mengapa aku melakukan ini dengan seseorang yang bersedia menerimaku.
***
“Sari….” Aku mendengar seorang
perempuan memanggilku. Suaranya tidak asing, aku yakin itu Ajeng. Aku tersenyum
melihatnya berlari dari depan rumahku menuju tempatku duduk di halaman sebelah
kiri tempatku biasa menghabiskan sore jika tidak ada kesibukan pekerjaan.
“Ada apa Ajeng sayang, kenapa
berteriak dan berlari-lari begitu…” Aku berusaha menenangkannya.
“Sari, tadi pagi ada seseorang
mengantarkan undangan ke rumahku.” Katanya tergesa. “Tadinya aku biarkan saja
di atas meja, karena aku pikir paling juga anaknya tetangga atau teman lama.
Namun ternyata, kamu lihat ini…” Ajeng memperlihatkan kartu undangan berwarna
hitam yang dibawanya. Aku segera membukanya dan,
“BAYU??”