(Ditinjau Dan Sudut Kebudayaan)
Oleh: Dra. S. Swarsi Geria, Gianyar
Topik pembahasan di atas muncul dan pertanyaan yang secara pribadi ditujukan pada saya pada saat Sarasehan Rwa Bhineda dalam PKB XXXIII. Pertanyaan mengapa di Bali menganut sistem Purusa? Penulis mencoba menjawab pertanyaan tersebut ditinjau dari sudut kebudayaan.
I. Asal Mula dan Perkembangan Keluarga Manusia
Asal mula perkembangan keluarga dalam masyarakat dimulai dan kehidupan manusia secara nomaden (berpindah-pindah). Pada saat itu manusia hidup serupa sekawan berkelompok, laki-laki dan perempuan hidup tanpa diikat oleh norma susila dan melakukan hubungan intim serta melahirkan keturunair tanpa ikatan.
Keluarga inti (nuclear family) sebagai inti masyarakat belum ada, hal ini merupakan tahap pertama dalam kehidupan masyarakat. Manusia lambat laun sadar akan hubungan si ibu dengan anak-anak mereka. Pada saat itu anak-anak mereka hanya mengenal ibunya, sedangkan sang ayah dengan bebas untuk berpindah-pindah di kelompok satu ke kelompok lainnya. Menurut Wilken kelompok keluarga tersebut menghitung garis keturunan dari keluarga ibu yang disebut keadaan matriarchaat.
Selanjutnya pada tingkatan berikutnya pada laki-laki puas dengan keadaan tersebut. Mulailah laki-laki tersebut mengambil calon istrinya dan kelompok lain dan membawanya ke kelompok mereka sendiri. Keturunan mereka tetap tinggal pada kelompok keluarga laki-laki (pada kelompok keluarga sang ayah) lambat laun pada keluarga tersebut, sang ayah disebut patriachaat. Prinsip keturunan tersebut sangat berpengaruh pula pada masyarakat Bali. Pada masyarakat Bali yang menganut agama Hindu sampai sekarang menganut prinsip keturunan patriachaat. Sering disebut dengan istilah purusa (garis keturunan pada sang ayah/laki-laki). Prinsip keturunan purusa di atas akan berpengaruh pada adat menetap setelah menikah, berpengaruh pada adat-istiadat lainnya, seperti pada upacara daur hidup, upacara ngaben (upacara kematian), bahkan sampai berpengaruh pada sistem kepercayaan (reinkarnasi), lanjut pada Pura Dadia.
II. Pengaruh Prinsip Keturunan Patriachaat/Sistem Purusa pada Masyarakat Bali
1) Pengaruh yang nampakjelas pada adat menetap setelah menikah.
Adat menetap setelah menikah yang terkait dengan sistem purusa adalah adat virilokal. Adat virilokal adalah pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Kalau pada masyarakat Bali adat menetap setelah menikah pada keluarga suami, bahkan bersama-sama tinggal satu rumah bersama mertua, ipar maupun keluarga lainnya dari pihak suami. Hal inipun akan berpengaruh pada pola tingkah laku anak-anak tersebut yang cenderung dan bahkan pasti akan mengikuti sepenuhnya adat-istiadat dari pihak suami (dan pihak Ayah). Sedangkan kerabat Ibu (wanita) amat sedikit memberikan pengaruh pada kehidupan anak-anak mereka. Seandainya ada yang cenderung ke kehidupan pihak Ibu (wanita) sering orang tersebut diejek dengan istilah Paid Bangkung. Namun sekarang dengan adanya pengaruh pendidikan, hal tersebut sudah mulai ada perubahan, dimana pada keluarga yang terdidik sudah mulai secara perlahan menganut sistem bilateral (adat menetap bilokal) bisa berganti-ganti tinggal pada kerabat suami/istri.
2) Pengaruh pada Upacara Daur Hidup dan Upacara Kematian Upacara daur hidup dimaksudkan dari upacara magedong-gedongan sampai upacara perkawinan. Dengan sistem purusa di atas amat berpengaruh pada pelaksanaan upacara. Pelaksanaan upacaranya sudah jelas pada pihak keluarga ayah (suami). Pada saat upacara tradisional paling nunas tirta pada sanggah/merajan sang ibu, lainnya sepenuhnya dilaksanakan pada keluarga suami/ayah.
Contoh : pada upacara ngaben sampai ngenteg linggih semua dilaksanakan pada keluarga suami, dan sang istri masuk bagian leluhur dari keluarga suami.
3) Pengaruh pada Sistem Kepercayaan (Reinkamasi)
Salah satu kepercayaan agama Hindu adalah adanya kepercayaan Purnabawa (reinkarnasi). Kepercayaan Purnabawa adalah suatu kepercayaan dimana adanya istilah numadi, menitis; kelahiran seorang bayi akan ada yang numadi, disebut juga dengan istilah Mepuayangan. Anak di A lahir, ane meyang Pekak, Kumpi atau yang lain pasti dari kerabat laki-laki (ayah), tidak pernah yang numadi itu dari kerabat Ibu (wanita) walaupun Ibu pun punya andil pada keturunannya.
4) Pengaruh pada Pura Dadia
Garis keturunan purusa di Bali juga berpengaruh pada penentuan kelompok pura keluarga luas yang merasa berasal dari seorang nenek moyang, leluhur yang sama dan terikat dengan garis keturunan laki-laki (ayah). Pura Dadia di Bali ditentukan oleh garis keturunan ayah, contoh : kalau seseorang wanita Bali kawin dengan kerabat klen Pande sudah pasti mengikuti Pura Dadia Pande, tidak mengikuti pura dadia wanita. Kecuali perkawinan yang dilaksanakan itu nyeburin pekidih. Adat menetap nyeburin ini tergolong pada adat menetap uxorilokal adalah sang laki-laki (penganten) tinggal menetap pada pusat kediaman kaum istri/wanita. Perkawinan nyeburin ini jarang dilaksanakan di Bali, biasanya nyeburin inipun akan memilih wanita yang satu klen/satu sanggah (merajan). Demikian sekelumit tentang Sistem Purusa dalam prinsip keturunan di Bali.
Sumber