OM Swastiastu,
"Om
Swastiastu" merupakan salam pembuka yang biasa diberikan oleh orang
bali kepada seseorang yang ditemuinya. adapun maksud dari salam tersebut
adalah sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut
selalu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun penjelasan mengenai kata tersebut, dapat dilihat dari percakapan Rsi dengan seorang suyasa.
Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya. Rsi Dharmakertipun mulailah:
“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anakndaapa artinya?
Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi.
Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut.
Kata
Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su
artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan.
Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.
Kata
Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu
SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung
(Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos).
Bentuk Swastika ini
dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan
bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari
perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang
kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu
tahun sebelum Masehi. Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku
sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi
yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu
timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala)
yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.
Sang Suyasa:
Oh
Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengira demikian
luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu.
Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar dmeikian,
lalu hamba ikut-ikutan saja.
Rsi Dharmakerti:
Memanglah
demikian tingi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira
bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su +
asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk
kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah;
pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya.
Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?Rsi Dharmakerti:
Tidak
mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI,
SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi”
Shanti
artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih
tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap
panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang
lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga
selamat. Hanya yang lebih tua patut memakai. Om Shanti, Shanti, Shanti
terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian
atau tulisan.
Sang Suyasa:
Gurunda, maafkan atas
kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya
benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba.
Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri.
Jangan lupa pengucapannya adalah OM Swastiastu, bukan OSA.. mari kita biasakan untuk mengucapkan OM Swastiastu.
Sumber...
Sabtu, 05 Oktober 2013
PENJOR GALUNGAN
Umat Hindu dari jaman dahulu sampai sekarang bahkan sampai nanti dalam menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa memakai symbol-simbol. Dalam Agama Hindu simbol dikenal dengan kata niasa yaitu sebagai pengganti yang sebenarnya. Bukan agama saja yang memakai simbol, bangsa pun memakai simbol-simbol. Bentuk dan jénis simbol yang berbeda namun mempunyai fungsi yang sama.
Dalam upakara terdiri dari banyak macam material yang digunakan sebagai simbol yang penuh memiliki makna yang tinggi, dimana makna tersebut menyangkut isi alam (makrokosmos) dan isi permohonan manusia kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti Tri Hita Karana.
Masyarakat di Bali sudah tidak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll.
Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.
Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.
Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.
Penjor Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.
Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.
Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut :
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03)
WHD No. 478 Nopember 2006.
Sumber.
Salah Kaprah Salam "Astungkara"
Oleh : Ida Ayu Tary Puspa
Salam adalah kata yang kita ucapkan bila bertemu seseorang. Yang paling
umum dan berlaku universal adalah selamat pagi, siang, malam, dan tidur
yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan makna yang
sama. Dalam komunitas agama kita pun mengenal salam dengan ucapan
berbeda-beda, tetapi memiliki makna yang identik . Seperti misalnya
dalam Hindu dikenal salam atau panganjali yaitu “Om Swastyastu” yang
bila dicari artinya di dalam kamus adalah semoga selamat. Di dalam salam
itu terdapat makna yang dalam karena diucapkan pula wijaksara suci Om
sebagai Triaksara yang berada dalam masing-masing Dewa Tri murti yaitu
A, U, M yang disandikan menjadi Om. Jadi dalam salam Om Swastyastu
terkandung makna semoga selamat dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Selain Om Swastyastu dikenal pula istilah namaste yang artinya
salam atau menghormat, hanya saja salam ini kurang memasyarakat bagi
masyarakat Hindu di Bali.
Akhir-akhir ini karena
perkembangan teknologi informatika terutama dalam alat komunikasi
seperti Hand Phone atau jejaring sosial dalam internet, face book,
twitter, maka salam itu pun mengalami perkembangan dalam penulisan yang
disingkat seperti misalnya dalam mengirim Short Messages Service (SMS)
sesama komunitas Hindu. Memulai menulis, maka akan diketikkan kata Osa,
yang a seakan singkatan dari Om Swastyastut.
Penggunaan bahasa
yang digunakan oleh orang-orang adalah sebuah simbol berdasarkan
kesepakatan. Oleh karena akses yang cepat dan menulis pesan yang tidak
mungkin panjang-panjang sesuai kata itu, maka di dalam SMS akhirnya
disepakati (kesepakatan nonformal-red) sebagai sebuah konvensi untuk
mengganti Swastyastu dengan tulisan singkat di SMS menjadi Osa. Osa
sebenarnya tidak mengandung makna apa-apa karena berupa singkatan.
Pertama kali menerima SMS dengan salam seperti itu saya pun tidak
mengerti apa maksudnya. Terlebih pada penutup pesan diketik OS3XO yang
diartikan sebagai kepanjangan dari Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. Sama
dengan Osa, maka OS3X tidak bermakna apa-apa karena disingkat. Akan
tetapi kalau berupa kesepakatan di antara komunitas Hindu, maka
singkatan itu akan dapat dimengerti karena tidak mungkin menulis secara
utuh dalam sebuah SMS. Namun di dalam surat menyurat resmi antarinstansi
Hindu tetap saja penulisan salam pembuka dan penutup dengan kata yang
lengkap, yaitu Om Swastyastu dan Om Shanti, Shanti, Shanti Om yang
artinya semoga selamat dan semoga damai di hati damai di bumi damai
selalu.
Kecerdasan umat Hindu menyingkat salam itu sedemikian
rupa karena di dalam Hindu pun ada singkatan dari Panca Aksara dan Panca
Brahmaa yang akan membentuk dasaksara yaitu SA, BA, TA, A, I, NA, MA.
SI, WA, YA. Singkatan itu adalah singkatan Dewa-Dewa penguasa penjuru
mata angin seperti Sadyojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora, Isyana.
Singkatan itu akan sering digunakan dalam mantra untuk muput sebuah
upacara misalnya.
Di tengah dinamika kebudayaan Bali, maka
orang Bali pun ingin hidup dalam budaya glokal, yaitu hidup dalam era
globalisasi namun tetap cinta pada budaya lokal, maka orang Bali pun
ingin bahwa jati dirinya tetap eksis di percaturan hidup. Mulailah orang
Bali ingin menunjukkan identitas dengan salam ala Bali seperti Rahajeng
semeng, siang, wengi bukannya dipakai Rahajeng tengai untuk siang.
Inilah bahasa gado-gado. Ditambah lagi dengan salam Swasti prapta yang
diartikan selamat datang. Hal ini dipopulerkan oleh stasiun radio dalam
acara mebasa Bali oleh para penyiarnya sehingga masyarakat/pemirsa yang
mendengar salam itu mencoba pula untuk menirunya. Dalam hal ini
seakan-akan orang Bali mencari-cari bentuk peniruan dalam bahasa Jawa
karena dalam bahasa Jawa dikenal salam Sugeng rawuh ‘selamat datang,
sugeng enjing ‘silakan masuk’ maupun sugeng sare ‘selamat tidur’.
Sejatinya dalam kehidupan orang Bali terutama di pedesaan salam itu
belum memasyarakat, karena orang Bali memiliki ungkapan hati dengan
bahasa tersendiri. Seperti misalnya kalau ada tamu yang datang, wawu
rawuh nggih, durusang melinggih dumun. “Baru datang ya, silakan duduk
dulu!.” Kalau seseorang punya hajatan yadnya, maka yang punya hajatan
(meduwe karya) mengatakan, “Suba teka dogen tiang suba demen.” Artinya,
“Sudah berkenan untuk datang saja, saya sudah senang.” Jadi bukan kata
“suksma” yang diucapkan.
Begitu pula dalam sebutan untuk Tuhan
dalam Hindu yang di dalam Upanisad disebut Brahman, sedangkan orang
Bali-Hindu menyebut dengan Sang Hyang Widhi. Ada juga gelar atau sebutan
yang lain sesuai sifat, fungsi, dan prabhawaNya, seperti Sang Hyang
Wenang, yaitu gelar Tuhan sebagai pemegang wewenang atau kebenaran yang
mutlak dalam membentuk susunan dan peraturan alam, disebut pula Sang
Hyang Tuduh, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Ayu, dan Sang Hyang Widya.
Istilah yang paling gres yang agak latah diucapkan oleh orang Bali yang
mencoba-coba mencari padanan dalam bahasa Bali bila mendengar orang
muslim berkata untuk sebuah kegiatan, misalnya alhamdulilah yang artinya
semoga, yaitu dengan kata astungkara yang kira-kira di benak orang yang
mengucapkan itu diartikan sebagai semoga padahal arti denotasi bila
dilihat pada kamus adalah puja, atau sembah. Inilah sebuah penggunaan
kata yang semantiknya tidak sesuai karena terkesan salah kaprah. Orang
Bali mengenal padanan kata alhamdulilah adalah dengan kata dumogi atau
dumadak. Dumugi (adv) artinya moga-moga, dumugi sadia rahayu artinya
moga-moga selamat sentosa sedangkan dumadak (adv) artinya semoga,
dumadak apang rahayu artinya semoga selamat.
Agar mewakili apa
yang dimaksudkan dalam berbahasa, maka gunakanlah bahasa dengan baik dan
benar yang sesuai dengan situasi serta dengan tata bahasa yang benar.
Dengan demikian, maka bahasa akan menunjukkan bangsa.
Sumber
Suksma,
OM Shanti, SHanti, Shanti OM
Langganan:
Postingan (Atom)