Salah Kaprah Salam "Astungkara"
Oleh : Ida Ayu Tary Puspa
Salam adalah kata yang kita ucapkan bila bertemu seseorang. Yang paling
umum dan berlaku universal adalah selamat pagi, siang, malam, dan tidur
yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan makna yang
sama. Dalam komunitas agama kita pun mengenal salam dengan ucapan
berbeda-beda, tetapi memiliki makna yang identik . Seperti misalnya
dalam Hindu dikenal salam atau panganjali yaitu “Om Swastyastu” yang
bila dicari artinya di dalam kamus adalah semoga selamat. Di dalam salam
itu terdapat makna yang dalam karena diucapkan pula wijaksara suci Om
sebagai Triaksara yang berada dalam masing-masing Dewa Tri murti yaitu
A, U, M yang disandikan menjadi Om. Jadi dalam salam Om Swastyastu
terkandung makna semoga selamat dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Selain Om Swastyastu dikenal pula istilah namaste yang artinya
salam atau menghormat, hanya saja salam ini kurang memasyarakat bagi
masyarakat Hindu di Bali.
Akhir-akhir ini karena
perkembangan teknologi informatika terutama dalam alat komunikasi
seperti Hand Phone atau jejaring sosial dalam internet, face book,
twitter, maka salam itu pun mengalami perkembangan dalam penulisan yang
disingkat seperti misalnya dalam mengirim Short Messages Service (SMS)
sesama komunitas Hindu. Memulai menulis, maka akan diketikkan kata Osa,
yang a seakan singkatan dari Om Swastyastut.
Penggunaan bahasa
yang digunakan oleh orang-orang adalah sebuah simbol berdasarkan
kesepakatan. Oleh karena akses yang cepat dan menulis pesan yang tidak
mungkin panjang-panjang sesuai kata itu, maka di dalam SMS akhirnya
disepakati (kesepakatan nonformal-red) sebagai sebuah konvensi untuk
mengganti Swastyastu dengan tulisan singkat di SMS menjadi Osa. Osa
sebenarnya tidak mengandung makna apa-apa karena berupa singkatan.
Pertama kali menerima SMS dengan salam seperti itu saya pun tidak
mengerti apa maksudnya. Terlebih pada penutup pesan diketik OS3XO yang
diartikan sebagai kepanjangan dari Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. Sama
dengan Osa, maka OS3X tidak bermakna apa-apa karena disingkat. Akan
tetapi kalau berupa kesepakatan di antara komunitas Hindu, maka
singkatan itu akan dapat dimengerti karena tidak mungkin menulis secara
utuh dalam sebuah SMS. Namun di dalam surat menyurat resmi antarinstansi
Hindu tetap saja penulisan salam pembuka dan penutup dengan kata yang
lengkap, yaitu Om Swastyastu dan Om Shanti, Shanti, Shanti Om yang
artinya semoga selamat dan semoga damai di hati damai di bumi damai
selalu.
Kecerdasan umat Hindu menyingkat salam itu sedemikian
rupa karena di dalam Hindu pun ada singkatan dari Panca Aksara dan Panca
Brahmaa yang akan membentuk dasaksara yaitu SA, BA, TA, A, I, NA, MA.
SI, WA, YA. Singkatan itu adalah singkatan Dewa-Dewa penguasa penjuru
mata angin seperti Sadyojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora, Isyana.
Singkatan itu akan sering digunakan dalam mantra untuk muput sebuah
upacara misalnya.
Di tengah dinamika kebudayaan Bali, maka
orang Bali pun ingin hidup dalam budaya glokal, yaitu hidup dalam era
globalisasi namun tetap cinta pada budaya lokal, maka orang Bali pun
ingin bahwa jati dirinya tetap eksis di percaturan hidup. Mulailah orang
Bali ingin menunjukkan identitas dengan salam ala Bali seperti Rahajeng
semeng, siang, wengi bukannya dipakai Rahajeng tengai untuk siang.
Inilah bahasa gado-gado. Ditambah lagi dengan salam Swasti prapta yang
diartikan selamat datang. Hal ini dipopulerkan oleh stasiun radio dalam
acara mebasa Bali oleh para penyiarnya sehingga masyarakat/pemirsa yang
mendengar salam itu mencoba pula untuk menirunya. Dalam hal ini
seakan-akan orang Bali mencari-cari bentuk peniruan dalam bahasa Jawa
karena dalam bahasa Jawa dikenal salam Sugeng rawuh ‘selamat datang,
sugeng enjing ‘silakan masuk’ maupun sugeng sare ‘selamat tidur’.
Sejatinya dalam kehidupan orang Bali terutama di pedesaan salam itu
belum memasyarakat, karena orang Bali memiliki ungkapan hati dengan
bahasa tersendiri. Seperti misalnya kalau ada tamu yang datang, wawu
rawuh nggih, durusang melinggih dumun. “Baru datang ya, silakan duduk
dulu!.” Kalau seseorang punya hajatan yadnya, maka yang punya hajatan
(meduwe karya) mengatakan, “Suba teka dogen tiang suba demen.” Artinya,
“Sudah berkenan untuk datang saja, saya sudah senang.” Jadi bukan kata
“suksma” yang diucapkan.
Begitu pula dalam sebutan untuk Tuhan
dalam Hindu yang di dalam Upanisad disebut Brahman, sedangkan orang
Bali-Hindu menyebut dengan Sang Hyang Widhi. Ada juga gelar atau sebutan
yang lain sesuai sifat, fungsi, dan prabhawaNya, seperti Sang Hyang
Wenang, yaitu gelar Tuhan sebagai pemegang wewenang atau kebenaran yang
mutlak dalam membentuk susunan dan peraturan alam, disebut pula Sang
Hyang Tuduh, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Ayu, dan Sang Hyang Widya.
Istilah yang paling gres yang agak latah diucapkan oleh orang Bali yang
mencoba-coba mencari padanan dalam bahasa Bali bila mendengar orang
muslim berkata untuk sebuah kegiatan, misalnya alhamdulilah yang artinya
semoga, yaitu dengan kata astungkara yang kira-kira di benak orang yang
mengucapkan itu diartikan sebagai semoga padahal arti denotasi bila
dilihat pada kamus adalah puja, atau sembah. Inilah sebuah penggunaan
kata yang semantiknya tidak sesuai karena terkesan salah kaprah. Orang
Bali mengenal padanan kata alhamdulilah adalah dengan kata dumogi atau
dumadak. Dumugi (adv) artinya moga-moga, dumugi sadia rahayu artinya
moga-moga selamat sentosa sedangkan dumadak (adv) artinya semoga,
dumadak apang rahayu artinya semoga selamat.
Agar mewakili apa
yang dimaksudkan dalam berbahasa, maka gunakanlah bahasa dengan baik dan
benar yang sesuai dengan situasi serta dengan tata bahasa yang benar.
Dengan demikian, maka bahasa akan menunjukkan bangsa.
Sumber
Suksma,
OM Shanti, SHanti, Shanti OM