Oleh I Ketut Wiana
Dana adhyaynam sabdam
tarka sotrddhamaiua ca.
trayo duhke vighnatanca.
Sidha yosta prakirtitah.
(Wrhaspati Tattwa. 33).
Maksudnya: Belajar terus (dhyayana), terapkan ilmu itu dalam praktek (tarka jnyana) sampai memberikan kontribusi pada kehidupan (dana) itu tiga ciri hidup sukses secara duniawi (wahya siddhi). Dapat mengatasi tiga sumber duka (adhibhautika, adyatmika, adhidaivika dahka) cmi hidup sukses secara rokhani (adyatmika siddhi).
Membangun hidup sukses secara duniawi mentrut Wrehaspati Tattwa 33 ini dengan cara belajar terus (dhyayana), menterjemahkan ilmu itu dalam praktek kehidupañ (tarka jnyana) sampai mampu mewujudkan nilai tambah memberikan kontnibusi pada kehidupan individual dan sosial (dana). Itulah ciri hidup sukses secara duniawi yang disebut wahya siddhi.
Sedangkan hidup sukses secara rokhani atau adyatmika siddhi ada tiga cirinya yaitu: adibhautika duhkha yaitu derita yang berasal dari luar diri, adyatmika duhkha adalah derita yang disebabkan oleh diri sendiri, adidaivika duhkha yaitu derita yang disebabkan oleh karma pada masa penjelmaan sebelumnya. Sukses hidup duniawi dan hidup rokhani diawali dengan menerapkan hidup untuk belajar terus menerus dari tahap hidup brahmacari, grhastha, wanaprastha dan sampai mencapai tahapan hidup sanyasin asrama. Tiap tahapan hidup itu membutuhkan, ilmu yang berbeda-beda sebagai penuntunnya.
Hari suci Galungan dan Kuningan dirayakan oleh umat Hindu di Nusantara ini sebagai bentuk motivasi untuk mengingatkan umat manusia agar menerapkan ilmu itu dengan fokus dan sinergi sebagai upaya menegakkan dharma sebagai dasar meniti kehidupan di bumi ini. Hal itu dinyatakan dalam Sunarigama sebagai pustaka yang menjelaskan tentang perayaan Galungan dan Kuningan.
Perayaan Galungan dan Kuningan sesungguhnya suatu momentum untuk bertemunya para ilmuwan untuk mensinergikan ilmunya dengan fokus, sehingga masyarakat menjadi hidupnya lebih cerah dan terarah mencapai anugrah Hyang Titah atau Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan: “budha kliwon dungulan ngaran Galungan patitis ikang jnyana sandhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep”. Artinya Rabu kliwon dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya ilmu pengetahuan suci (jnyana) supaya masyarakat mendapatkan pandangan yang terang (galang apadang), untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran (byaparaning idep).
Memperhatikan teks lontar Sunarigama itu perayaan Galungan adalah untuk memotivasi umat manusia agar para ilmuwan itu mempraktekkan ilmunya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan. Dalam Canakaya Nitisastra V.8 ada dinyatakan: “abhyasad dharyate vidya”: artinya peliharalah ilmu itu dengan mengamalkannya sampai menjadi tradisi. Dalam Sloka 9 ditegaskan lagi: “vidya yogena raksyate”: Peliharalah ilmu suci itu dengan melakukan ajaran Yoga. Yoga itu ada dua sasarannya yaitu hatha yoga untuk membangun hidup sehat secara jasmaniah dan raja yoga untuk membina hidup sehat secara rokhani.
Perayaan hari raya Galungan ini akan menjadi amat mulia kalau sebelum perayaan dalam wujud ritualnya, dilakukan pertemuan para ilmuwan yang berada di setiap desa atau banjar. Pertemuan itu untuk memberikan peran serta para ilmuwan tersebut untuk berbuat berdasarkan ilmu yang dimiliki.
Peran serta para ilmuwan atau para jnyanin untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Permasalahan yang ada dirumuskan dengan baik itu untuk diselesaikan tahap demi tahap. Dengan demikian permasalahan demi permasalahan diatasi dengan sebaik-baiknya. Dengan memberi peran para ilmuwan yang ada disertai oleh semua pihak maka berbagai persoalan akan teratasi berdasarkan kajian ilmu pengetahuan secara benar dan tepat.
Semua ilmuwan itu agar bekerja secara terpadu dan bersinergi satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan berbagai komponen atau stake holder yang ada di desa bersangkutan. Bersinerginya para ilmuwan itulah yang sesungguhnya diharapkan oleh lontar Sunarigama dalam merayakan Galungan dan Kuningan.
Peran serta yang terus menerus dari para ilmuwan (para jnyanin) itu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kehidupan bersama di setiap lingkungan yang ada. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan bahwa Sugian Jawa dirayakan untuk memotivasi umat agar menjaga kelestarian bhuwana agung. Sugian Bali untuk melestarikan bhuwana alit atau manusia secara individual.
Embang Sugi untuk merekonstruksi kembali penerapan ilmu tersebut (anyekung jnyana nirmalakna), penyajaan untuk mengingatkan jangan lupa berdoa untuk mohon anugerah Tuhan (matirtha gocara) dalam berupaya mengamalkan dharma agar sukses. Penampahan Galungan dinyatakan dalam Sunarigama “natab sesayut pamyakala lara melaradan” atau sesayut Penampahan untuk memotivasi umat agar membangun kemampuan wiweka jnyana atau kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang tepat, kurang tepat, mana yang benar dan yang salah, mana yang pantas dan tidak pantas, dst.
Semua tema-tema perayaan Galungan itu terdapat dalam Lontar Sunarigama tersebut. Tema tersebutlah diimplementasikan dalam berbagai kegiatan hidup bersama. Dengan demikian pemaknaan Galungan akan lebih sukses selain dirayakan dengan ritual sakral yang sudah menjadi tradisi itu. Misalnya di daerah Bali masalah kelestarian hutan, sungai dan sumber mata air lainnya, masalah sampah sudah semakin terganggu.
Demikian juga sudah banyak adat-istiadat yang perlu ditinjau relevansinya sebagai media pen-tradisian ajaran kitab suci Weda. Seyogianya ada proses utpati, sthiti dan pralina dalam memelihara adat-istiadat tersebut. Maksudnya agar dapat adat-istiadat itu selalu segar (nutana) sebagai media pengamalan ajaran Agama Hindu tersebut.