Oleh: Neti
Aku ingin berbagi cerita untuk kita jadikan bahan renungan. Ku awali dengan kisah toleransi kedua orang tuaku yang sangat tinggi terhadap agama lain. Menurutku itu sangat bagus, namun menurutku karena pemahaman agama yang kurang. Sebaliknya, aku yang dibesarkan dan bergaul di lingkungan non Hindu membuat aku tumbuh menjadi Hindu yang fanatik, dalam artian fanatik yang tak sempit. Tanpa berbekal ilmu agama yang baik aku memberanikan diri untuk bangga menjadi Hindu. Batinku kadang teriris melihat dan mendengar saudaraku-saudara kita beralih agama dan itu jumlahnya tidak sedikit. Yang lebih menyakitkan tiga dari sembilan saudaraku keluar dari jalan Dharma. Dua saudara perempuanku dan satu saudara laki-lakiku. Aku sebagai saudara yang lebih muda tentunya tak banyak kewenanganku untuk berbicara. Dan ibuku yang masih mempunyai hak dan tanggung jawab mengarahkan anak-anaknya, justru mendukung hal itu. Kalaupun bicara aku harus mulai dari mana karena ibuku mendukung dan menganggap apa yang dijalani sekarang adalah jalan hidupnya yang sudah ditakdikan dari atas. Setelah meninggalnya ayahku aku menyuruh ibuku untuk mengajak kakakku yang laki-laki kembali ke jalan dharma. Tapi diskusiku dengan ibuku sering mengalami jalan buntu. Mengapa aku sangat menyayangkan? Ia seorang laki-laki dalam keluarga, yang kelak bertanggung jawab dan ia sebagai purusa tentunya hal ini harus menjadi pemikiran kami sekeluarga. Kami sangat menyadari sebagai perantau kepedulian semacam ini hanya semu, karena tanpa ada teguran atau gambaran menakutinya apabila terjadi konversi seperti ini. Akhirnya kesuksesan kakakku mencapai puncaknya ketika ia mengawini gadis Sunda–Sumatra di kota kembang, dengan tiga orang putranya dengan embel-embel nama Wayan, Made dan Komang. Saudara laki-lakiku ini khusuk sholat di depan ibu dan saudara-saudaraku yang lain. Dan dengan kemapanan ekonomi merekapun berangkat haji sekeluarga. Harapan menjadi haji mabrur pupus. Musibah demi musibah dialami sepulang dari tanah suci dan berakhir dengan perceraiannya dan kematian istrinya menderita kanker usus. Lagi-lagi ibuku menganggap ini takdir. Hal ini tentu saja menjadi onak dalam batinku. Sakit sendiri, melihat saudara yang pernah berjaya kini bagai membalikkan telapak tangan, musnah semua kekayaan dan kejayaan hilang dalam sekejap. Lagi-lagi aku berpikir apakah ini teguran? Betapa inginnya aku mengajak saudaraku kembali ke jalan dharma. Betapa inginnya aku menyadarkannya untuk kembali pulang. Musibah yang bertubi-tubi datang tampaknya belum menyadarkannya. Bahkan kini ia kawin lagi dengan gadis Sunda. Musibahpun kembali terjadi. Anak pertama dari istri kedua meninggal mendadak, tanpa sebab. Musibah belum berhenti. Mobilnya mengalami kecelakaan, istrinya selingkuh dan berakhir hidupnya di rumah sakit karena kanker usus. Kekayaan milyaran rupiah hilang dalam sekejap dan musibah menimpa lagi pada perkawinan kedua. Apa ini benar- benar teguran, karena kakakku itu tak mepamit di sanggah leluhur? Aku sempat melihat keadaan kakakku di Bandung. Aku ingin berbicara namun tak berbekal pengetahuan agama, aku akhirnya diam. Setiap pagi aku mendengar kakakku dengan amat fasih mengaji. Di lingkungannya ia begitu disegani sebagai haji. Keadaannya sekarang sudah bangkrut dari sebuah kesuksesan sepulang dari tanah suci namun ia begitu taat dengan identitasnya yang baru. Ini menjadi bahan renungan bagiku: Aku ingin menjadikan anak-anakku kelak menjadi anak-anak yang suputra. Dan semoga kisah yang dialami oleh saudara laki-lakiku akan menjadi pekerjaan rumah untuk kita semua dalam membimbing anak-anak kita, generasi Hindu ke depan tetap di jalan Dharma. Tentunya sangatlah salah apabila kita tidak memulai sedini mungkin mengajarkan pendidikan agama. Sangatlah salah apabila kita selalu mementingkan urusan duniawi dari pada urusan agama. Melalui berlangganan Media Hindu, kini aku sedikit-demi sedikit bisa belajar dan mengajari anak-anakku, pemahaman tentang sebuah agama yang benar. |
Rabu, 14 November 2012
Aku Ingin Saudaraku Kembali ke Jalan Dharma
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)