Perubahan Tak Dapat Dielakkan
Oleh: AGNES RITA SULISTYAWATI & M HERNOWO
Bai Salasa Kerei, warga Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tidak ingat persis tahun berapa tato digambar di tubuhnya. Yang diingatnya, dia tidak punya banyak pilihan selain menuruti kehendak kakaknya agar badannya dirajah.
Bai hanya ingat ketika tato digambarkan di sekujur tubuhnya, dia masih berumur belasan tahun dan belum menikah dengan Aman Salasa Kerei.
Saat itu, Bai tidak dapat menolak tubuhnya ditato karena— bagi orang Mentawai—tato menyimbolkan pemiliknya berasal dari keluarga berada. Sebab, penatoan didahului dengan upacara adat atau punen enegat, yang diikuti masyarakat satu kesukuan. Tuan rumah bertanggung jawab menyediakan makanan bagi para tamu punen. Saat punen, seekor babi—ternak yang menjadi ukuran kekayaan masyarakat Mentawai—dipotong dan dimakan bersama. Sipatiti—orang yang menato—berhak membawa pulang seekor babi seusai mengerjakan tugasnya.
Bagi sikerei atau dukun di Mentawai yang bertugas mengobati orang sakit, tato juga menyimbolkan keabadian. ”Kalau saya meninggal, seluruh hiasan sikerei ini harus ditanggalkan. Tinggallah tato di tubuh yang dibawa ke liang kubur. Tato inilah pakaian abadi kami,” ucap Teuk Kerei, seorang sikerei asal Tinambu, Kecamatan Siberut Selatan.
Namun, penatoan yang dilakukan dengan menusukkan jarum kayu ke kulit dan kemudian diikuti dengan memasukkan campuran arang dan sari pati tebu ini menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Rasa sakit ini membuat Bai Salasa Kerei tidak melanjutkan penatoan hingga ke kaki.
Kekhawatiran terhadap rasa sakit itu pula yang membuat Aman Jazali, sikerei dari Butui, Desa Madobag, Siberut Selatan, memutuskan tidak menato tubuhnya. ”Lagi pula, sekarang juga tidak ada keharusan bagi sikerei untuk menato tubuhnya,” kata sikerei yang masih berumur sekitar 35 tahun ini.
Mulai ditinggalkan
Aman Jazali tidak sendirian. Generasi muda Mentawai pada umumnya sekarang memang enggan menato tubuhnya. Selain tidak kuat menahan sakit, tidak adanya biaya untuk pesta juga sering disebut sebagai alasan tidak lagi ditato.
Kurangnya peminat tato ini berdampak makin sedikitnya sipatiti. Bahkan, lantaran tidak ada lagi sipatiti yang bisa memahatkan garis-garis tato, Bajak Kamid, sikerei dari suku Sakoddobat di Tinambu, Siberut Selatan, terpaksa membiarkan tubuhnya polos tanpa tato.
Sebenarnya, tato mulai ditinggalkan warga Mentawai sekitar tahun 1955, ketika negara mencabut dukungan atas kepercayaan asli masyarakat Mentawai, yaitu Arat Sabulungan. Negara selanjutnya meminta pemeluk Arat Sabulungan memilih satu dari lima agama ”resmi”. Dampaknya, semua peralatan yang digunakan untuk ritual Arat Sabulungan, termasuk tato, dimusnahkan.
Peneliti tato Mentawai dari Universitas Negeri Padang, Ady Rosa, melihat, pencitraan tato juga sempat terpuruk ketika masyarakat umum mengidentikkan pemakai tato sebagai preman. Selain mulai enggan menato tubuhnya, generasi muda Mentawai kini juga jarang yang memakai kabbit, cawat dari kulit kayu baikko. Kabbit memiliki makna tertentu, seperti yang dipakai sikerei harus diwarnai dengan memakai getah kulit bakao agar berwarna merah.
Alasan ”kepraktisan” juga membuat sejumlah warga Mentawai mengubah beberapa tradisi dalam uma mereka. Misalnya, banyak dinding uma sekarang dibuat dari papan, bukan dari kulit kayu meranti.
Darmanto, peneliti tentang Mentawai, melihat lunturnya berbagai tradisi di Mentawai diakui menggerus Mentawai yang sekian lama ”menarik” di mata wisatawan. Tradisi, pantai yang indah, ombak besarnya, dan keragaman hayatinya adalah daya tarik itu.
Namun, perubahan adalah keniscayaan bagi Mentawai. Termasuk pengaruh televisi untuk sebagian wilayah yang berlistrik di sana. Perubahan sulit dicegah karena warga Mentawai bukan komunitas yang sengaja membentengi diri dari dunia luar, seperti warga Badui di Banten atau suku Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menurut Darmanto, memaksa warga Mentawai setia kepada kebiasaan mereka, seperti memakai kabbit dan menato tubuh, apalagi demi eksotisme, adalah kurang tepat. Orang Mentawai harus merdeka menentukan hidupnya sendiri, termasuk memilih kemajuan yang mereka inginkan.
Kewajiban negara menjaga agar warga Mentawai tetap memiliki hak atas miliknya, seperti tanah, hutan, dan kearifan adatnya. Susahnya, ancaman terhadap warga Mentawai sebagian besar justru datang dari kebijakan negara, seperti keputusan pemerintah memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) di Mentawai kepada sejumlah perusahaan.
Lokasi HPH sering bertabrakan dengan lahan adat suku Mentawai dan pengelolaan HPH sering pula tak sesuai dengan kearifan lokal orang Mentawai. Misalnya, pengelola HPH mengambil semua kayu, padahal tradisi Mentawai hanya mengizinkan pengambilan kayu yang sudah besar dan keras serta tidak dengan dibakar.
Padahal, seperti disampaikan Selester Sageruwjuw, warga Dusun Rogdog, Siberut Selatan, yang mereka butuhkan di tengah perubahan saat ini adalah adanya kesempatan menanamkan nilai kearifan adat dan budaya Mentawai kepada kawula mudanya. Jika keleluasaan ini tetap dimiliki, orang Mentawai tetap dapat merasakan kemerdekaan dari Indonesia yang sudah berumur 64 tahun ini.
Sumber