Keberadaan Pemangku tidak bisa dilepaskan dari keberadaan umat, khususnya dalam memberikan tuntunan, serta sebagai penganteb upakara dalam berbagai upacara panca yadnya. Selain itu ada fakta, bahwa sampai saat ini kesejahteraan para Pemangku masih sangat jauh dari harapan. Dan umat menganggap hal itu sebagai sebuah konsekwensi logis dari pilihan untuk menjadi Pemangku. Pada hal sebagian besar umat yang menjadi Pemangku bukan karena keinginannya, akan tetapi karena ditugaskan oleh umat melalui berbagai mekanisme.
Ketidaksejahteraan para Pemangku bertambah lengkap dengan berbagai pantangan yang harus dijalani sebagai Pemangku. Banyak Pemangku yang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari harus menjadi petani, pengrajin, tukang kayu, tukang batu, atau tukang atap. Dan tidak menutup kemungkinan juga ada yang menjadi bebotoh.
Sedihnya, umat merasa tidak perlu bertanggung jawab akan kesejahteraan para Pemangku. Banjar sebagai institusi hanya bertanggung jawab manakala Pemangku meninggal dunia untuk memperabukan jenazahnya. Warga banjar merasa sudah memenuhi tanggung jawabnya hanya dengan menanggung biaya pelebon, padahal pelebon hanya sekali dalam seumur hidup. Lalu di mana tanggung jawab umat dalam kebutuhan sehari-hari para Pemangku? Cukupkah hanya dengan menghaturkan peras sebagai imbalan jasa yang diberikan ketika umat memerlukan untuk nganteb upakara?
Untuk itu, umat perlu meningkatkan tanggung jawabnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para Pemangku. Jika para Pemangku semakin sejahtera, maka Pemangku akan dapat lebih berkonsentrasi dalam peningkatan kemampuannya (meskipun tidak selalu demikian). Namun, paling tidak umat wajar menuntut peningkatan kwalitas manakala tanggung jawab umat sudah ditingkatkan. Itu pun kalau manggunakan mental dagang.
Bagaimana idealnya hubungan umat dengan Pemangku? Idealnya hubungan itu seperti hubungan sisya-guru, murid-guru. Seorang murid baru disebut murid jika ada guru, dan seorang guru disebut guru jika ada murid. Seorang guru adalah dia yang telah mengetahui, mengetahui jalan yang akan kita tempuh. Seorang guru adalah seorang pemandu. Seorang “murid” adalah seorang yang telah menyerahkan sepenuhnya pikirannya kepada guru, sehingga sang guru dapat bekerja melalui diri sang murid.
Dalam hal ini perlu kiranya dikutip mantra guru puja yang bunyinya sebagai berikut. OM Gurur Brahma Gurur Wisnu, Gurur Dewo Maheswara, Gurur Saksat Param Brahma, Tasmai Sri Gurave Namaha. Yang artinya kurang lebih adalah, Guru, engkau adalah perwujudan Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Maheswara sebagai pendaur ulang. Sesungguhnya Engkau adalah perwujudan Brahman, Sembah sujudku padamu wahai guru.
Menurut mantra di atas begitu mulianya kedudukan seorang guru, karena tanpa guru tidaklah mungkin kita tahu jalan yang sedang kita lalui saat ini. Entah siapa pun guru itu, yang jelas guru sangatlah berjasa dalam hidup kita. Tanpa kehadiran seorang guru dalam hidup kita, maka hidup ini akan gelap. Seorang guru adalah pelita dalam hidup kita.
Jika kita bisa menerima hubungan umat dengan Pemangku seperti hubungan murid dengan guru, maka sudah sepantasnya kesejahteraan para Pemangku menjadi bagian dari praktek keagamaan kita ketimbang berbagai kemegahan ritual yang kita lakukan. Adakah yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan para Pemangku? Tentu ada. Dan tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan, kita hanya perlu belajar untuk menundukkan sedikit demi sedikit ego kita, sederhanakan berbagai ritual dan pahami maknanya. Ketika ego kita semakin kecil, maka kita akan bisa hidup dalam keserderhanaan. Kerendahan ego akan dapat memahami kemuliaan dalam kesederhanaan. Kerendahan ego akan membawa kita kepada kepedulian akan penderitaan mahluk lain, bukan manusia saja.
Bagaimana dengan Pemangku? Seorang Pemangku jika ingin dihormati seperti seorang guru, maka tidak ada jalan lalin kecuali meningkatkan kwalitasnya terus menerus. Bukan saja meningkatkan kemampuan dalam memahami berbagai kitab suci, akan tetapi juga mampu memberikan konsultasi kepada umat. Di samping itu seorang Pemangku yang sekaligus seorang guru harus mampu memberikan jalan keluar manakala ada perselisihan di masyarakat atas sebuah kebiasaan (tradisi) berdasarkan kesadarannya sebagai seorang guru yang mampu menunjukan jalan. Bukan saja umat yang perlu belajar untuk merendahkan ego, akan tetapi Pemangku harus bisa menjadi contoh dalam kerendahan ego, sehingga bisa menjadi wadah dari berbagi pemikiran yang berbeda tanpa memihak. Hanya dalam kerendahan eglo-lah hal itu bisa terjadi.
Tanpa peningkatan kwalitas hubungan umat dengan Pemangku, maka akan sangat sulit untuk meningkatkan kesejahteraan, baik kesejahteraan material dan non material. Baik untuk Pemangku maupun untuk umat. Untuk itu maka sudah saatnya hubungan umat dan Pemangku yang selama ini berdasarkan hitungan “dagang” menjadi hubungan antara guru dan murid yang melampaui hubungan “dagang” itu sendiri. Dalam hal ini hubungan antara guru dan murid sepenuhnya dilandasi atas prema, kasih, asih.
Sumber