Oleh N.N. Kerti Yasa
Segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu mengalami perubahan. Perubahan juga sudah menyentuh orientasi atau fokus dari suatu masyarakat, termasuk orientasi masyarakat Bali yang cenderung kepada materi.
Sebenarnya masyarakat yang berorientasi materi bukanlah sesuatu yang salah. Tetapi kalau orientasi masyarakat terhadap materi itu sudah terlalu kuat, terlalu besar atau terlalu tebal, maka akan menjadi sesuatu yang tidak baik. Sebab, dalam ajaran agama Hindu, kita diberikan nasihat mencari artha berlandaskan dharma. Jadi tujuan hidup kita atau orientasi kita hidup ini tidak semata-mata mencari artha atau materi semata, tetapi tetap mengedepankan dharma.
Perubahan orientasi pada masyarakat Bali ini tentunya diawali dengan suatu gejala atau fenomena yang tejadi di sekeliling kita.
Kondisi ini dapat dilihat dari beberapa fenomena, antara lain:
(1) Waktu untuk melaksanakan gotong royong di banjar-banjar makin berkurang, karena lebih banyak anggota masyarakat di Bali menghabiskan waktu untuk bekerja mencari uang, sampai-sampai di hari libur pun mereka bekerja mencari uang.
(2) Para wanita Bali juga makin banyak yang bekerja di luar rumah untuk mencari penghasilan atau tambahan penghasilan, sehingga keuangan keluarga semakin kuat.
(3) Masyarakat di Bali juga menilai eksistensi orang dari jumlah harta yang dimilikinya, sehingga pada umumnya orang kaya akan lebih dihormati dibandingkan orang miskin.
(4) Masyarakat Bali juga sudah semakin pintar menilai jerih payahnya secara ekonomi semata, sehingga segala sesuatu diukur dari penghasilan dalam bentuk uang yang mereka terima.
Perubahan kecenderungan orientasi masyarakat Bali tersebut, tentunya dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang muncul dari dalam diri individu itu sendiri, seperti nilai-nilai kebenaran yang dia pegang, yang biasanya berasal dari ajaran agama yang ditanamkan sejak dini. Yang lebih banyak mendorong perubahan orientasi masyarakat adalah faktor-faktor yang berada di luar individu itu sendiri, seperti tersedianya begitu banyak produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya (yang tentunya harus dibeli dengan uang), terjadinya globalisasi yang menyebabkan masyarakat di Bali mampu menerima informasi dari mana saja tanpa mengenal batas ruang dan waktu (yang memberikan contoh tentang berbagai kenikmatan yang harus dibeli dengan uang juga), kurangnya penanaman nilai-nilai moral yang baik atau penanaman budi pekerti di lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi.
Solusi yang dapat ditempuh dengan membentengi diri dengan ajaran agama yang kuat. Penanaman nilai-nilai agama, moral dan budi pekerti dari SD sampai ke pendidikan tinggi harus lebih diintensifkan, dan tentunya diikuti dengan pemberian contoh oleh para guru dan orangtua, serta dilakukan evaluasi sikap siswa dalam kesehariannya dengan memberikan suatu reward and punishment. Kalau nilai-nilai baik itu sudah berhasil kita tanamkan sedari kecil dan mampu melekat dalam jiwanya, tentunya kondisi itu akan terbawa sampai mereka dewasa. Apalagi pada sekolah menengah sampai lembaga pendidikan tinggi mata pelajaran atau mata kuliah budi pekerti dan agama tetap diberikan maka individu tersebut selalu mendapat penyegaran. Proses penyegaran ini tentunya mempertebal nilai-nilai agama yang diberikan. Walaupun nantinya ada berbagai perubahan lingkungan yang memiliki dampak negatif, seperti arus globalisasi, beredarnya beragam produk yang menggiurkan, orientasi materi tersebut tetap dilandasi dengan dharma.
Jadi apa yang menjadi tujuan hidup masyarakat Bali mencari artha berlandaskan dharma tetap dapat dipertahankan.