Dari
penggalian informasi lebih lanjut yang kami lakukan terkait pelaksanaan
Maha Sabha X pada tnggal 23- 26 Oktober 2011, kami menemukan hal-hal
yang mencengangkan, tentang masifnya pelanggaran konstitusi dan moral
yang dilakukan oleh oknum-oknum utusan Parisada Bali. Parisada Bali
telah gagal sebagai tuan rumah Maha Sabha X. Bahkan ada dugaan kuat
pimpinan Parisada Bali terlibat dan rencana dan/atau sengaja melakukan
pembiaran, kerja sama secara diam-diam (connivance) untuk menyabot kerja
keras Panitia Pusat.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain dalam penunjukkan Penasehat Formatur Maha Sabha X yang bukan Anggota Sabha Pandita Masa Bhakti 2006-2011 dan juga tidak termasuk anggota Sabha Pandita Masa Bhakti 2011-2016, penunjukkan anggota formatur yang bukan pengurus harian Parisada Prov Bali. Puncak dari pelanggaran konstitusi dan moral ini adalah pada pemilihan Ketua Sabha Walaka (SW) dan Sabha Pandita. Di bawah ini akan kami angkat lagi apa yang sebagian sudah kami sampaikan dalam laporan utama MH 94, edisi Desembar 2011. Berbagai pelanggaran dalam pemilihan Ketua SW. Pertama. Pasal 26 ayat (1) dari peraturan Tata Tertib Mahasabha X menyatakan bahwa anggota SW dipilih oleh Formatur Mahasabha. Ayat (2) pasal yang sama menyatakan, Ketua, Sekretaris dan anggota SW dipilih dari dan di antara anggota SW. Ketentuan ini diatur kembali di dalam pasal 11 ayat (1) dan (2) Anggaran Rumah Tangga Parisada dengan bunyi yang sama. Rapat Anggota SW Masa Bhakti 2011-2016 yang dilaksanakan sebelum Personalia Anggota SW Masa Bhakti 2011-2016 diumumkan dan disahkan dalam Sidang Paripurna Mahasabha X adalah tidak sah. Kedua. Hanya memilih Pimpinan SW, sedangkan Pimpinan dan Anggota Komisi-komisi SW belum dipilih. Ketiga. Hanya dihadiri oleh sebagian kecil Anggota SW Masa Bhakti 2011-2016, terdiri dari orang-orang yang seide untuk konspirasi pengangkatan Putu Wirata Dwikora. Bahkan Anggota SW Masa Bhakti 2011-2016 yang pada saat itu berada di sekitar arena Mahasabha X tidak diundang. Keempat. Tidak ada jadual pemilihan Ketua SW dalam agenda sidang yang disahkan oleh Rapat Paripurna tanggal 23 Oktober 2011, dengan pertimbangan logis, karena sebagian anggota SW yang baru diangkat pasti tidak ada di tempat. Kelima. Berkaitan dengan butir keempat, secara konvensional, pemilihan Ketua dan para Wakil Ketua SW dilakukan beberapa hari setelah Maha Sabha, dengan maksud rapat pemilihan itu dapat dilakukan secara semestinya, secara proper. Artinya semua anggota SW. dapat mempersiapkan diri, misalnya untuk mengatur tranportasi dan akomodasi, apabila mereka ingin menghadiri rapat tersebut. Pemilihan atau penunjukkan Putu Wirata Dwikora, tidak dilaksanakan dalam satu rapat yang semestinya, penggunaan ketentuan korum dalam pemilihan Putu Wirata didasarkan atas itikad tidak baik (bad faith). Kelima hal tersebut di atas telah dilanggar secara sengaja dalam pemilihan Ketua SW pada Maha Sabha X yang lalu. Dengan demikian pemilihan Putu Wirata Dwikora sebagai Ketua SW adalah cacat secara hukum, etika maupun konvensi, karena itu ia dapat disebut sebagai Ketua SW tidak sah atau liar. Penjelasan yang diberikan baik oleh Putu Wirata Dwikora maupun I Wayan Sudirta, yang panjang lebar sama sekali tidak melemahkan fakta-fakta hukum, etika dan konvensi tersebut di atas. Malah ada kesan mereka ingin mengalihkan isu – bila bukan penyesatan. Pemilihan Putu Wirata Dwikora tersebut di atas merupakan preseden buruk bagi Parisada, terutama karena Parisada adalah lembaga keagamaan yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan moral. Lima tahun lagi, dalam Maha Sabha XI, bisa saja beberapa kelompok orang berbeda memilih ketua SW sendiri-sendiri, kemudian rebutan pengeras suara untuk mempengaruhi sidang paripurna dengan kemampuan retorika kosong. Puncak dari pertunjukan komedi pelanggaran (comedy of error) ini adalah pada pemilihan Ketua Sabha Pandita (SP), yang bernama hebat Dharma Adhyaksa (DA). Kehadiran Peninjau dan hak-haknya, yaitu hak bersuara dan hak untuk dipilih dijamin oleh AD/ ART Parisada. Tetapi dalam Mahasabha X dua orang Peninjau, yaitu Ida Pedanda Gede Telabah dan Ida Pandita Jaya Premananda, diusir oleh Putu Alit Bagiasna yang sebetulnya tidak berhak hadir dalam rapat SP, karena istrinya sendiri tidak ikut didiksa. Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa boleh dikatakan pelanggar konstitusi organisasi dan moral organisasi secara kambuhan. Pemilihan Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa sebagai DA untuk ketiga kalinya, sejak Maha Sabha VIII tahun 2001, 2006, dan 2011 semuanya melalui himsa karma dan rekayasa Tata Tertib dengan menghapus hak Peninjau untuk dipilih sebagai pimpinan SP yang dijamin AD. Tata Tertib tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar. Maka bila bertentangan, Tata Tertib itu batal demi hukum. Konsekuesinya pemilihan Pedanda Sebali Tianyar sebagai DA batal demi hukum. Pelanggaran konstitusi dan moral di dalam pemilihan kedua pucuk pimpinan SP dan SW, yang tampaknya direncanakan dengan rapi, merupakan pelecehan yang mencolok mata, kasar, dan tanpa rasa malu, terhadap Maha Sabha X, terhadap Parisada, dan akal sehat masyarakat Hindu sendiri. Di samping itu kapasitas intelektual Pedanda Sebali Tianyar kurang memadai untuk kedudukan yang demikian tinggi dan mulia. Ketika kami tanya mengapa ia maju sebagai dharma adhyaksa untuk ketiga kalinya? Dia menjawab: “… karena masih dibutuhkan oleh mereka dalam Unity, kebersamaan, Divinity, Viority”. Divinity, apakah dia merasa dirinya suci? Kalau benar, apakah ini tidak berarti jumawa? Lalu Viority? Kami tidak menemukan lema ini dalam kamus bahasa Inggris yang kami punya. Demikian juga jawabannya atas pertanyaan tentang alasan diadakannya “Padma Bhuana”, serta beberapa pura yang ditunjuk sebagai Padma Bhuana, sangat dangkal dan terkesan asal-asalan. Menyatakan kemajuan ekonomi India sekarang ini karena “padma bhuana” adalah menyesatkan. India maju karena investasinya yang tinggi pada pendidikan dan teknologi sejak zaman PM Pandit Nehru. DA, sebagai pemimpin tertinggi para Pandita, atau Sulinggih di Indonesia, setidaknya yang menjadi anggota Sabha Pandita, seharusnya seperti istri kaisar, atau Dewi Sita, sama sekali bebas dari keraguan. Pedanda Sebali Tianyar sama sekali tidak memiliki kriteria ini! Sungguh malang masyarakat Hindu di Indonesia. Lembaga yang seharusnya sebagai benteng dan pemberi pedoman moral justru dipimpin oleh orang-orang melanggar moral dengan sengaja bahkan ada yang melanggar berkali-kali. Bagaimana masyarakat Hindu Indonesia bisa percaya atas bhisama atau tuntunan moral yang dihasilkan oleh lembaga yang dipimpin oleh para pelanggar moral? Di samping itu, karena dua ketua organnya tidak sah, konsekuensinya Parisada secara keseluruhan juga tidak sah! Agus Mantik, dalam tulisannya “Sabha Pandita adalah Organisasi yang Sangat Reaksioner” (MH 94) menyatakan, SP segera akan punah seperti Mastodon. Sebenarnya, secara moral SP sudah punah! Apakah mengangkat aib ini tidak membuat citra Parisada buruk? Sebaliknya, apakah menyembunyikan aib ini akan membuat citra Parisada baik? Dapatkah citra baik lahir dari substansi yang buruk? Amartya Sen, ekonom India yang memenangkan hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998 menyatakan, pers yang bebas dapat mencegah bencana kelaparan. Bagaimana? Begitu ada gejala kelaparan, pers akan melaporkannya, sehingga pemerintah pusat mau tidak mau harus segera bertindak. Bila tidak, ia akan dihukum pada pemilu berikutnya. Penyakit yang disebabkan oleh kegelapan, akan sembuh dengan sendirinya begitu diangkat ke bawah sinar matahari. Kami ingin apa yang disebut oleh Agus Mantik sebagai premanisme di Parisada dihentikan. Tiga kali maha sabha sudah cukup. Enough is enough! Kami ingin Parisada memperoleh kembali martabatnya. Kami ingin Parisada, memiliki legitimasi moral. Dengan demikian Parisada, sebagai lembaga akan dihormati oleh mayarakat Hindu yang diklaim diwakilinya. Judul tulisan di atas kami ambil dari teks mantra Rig Weda. 10. 238. Weda sangat tegas bahkan keras mengenai masalah ini. Seorang pelanggar moral, apalagi tidak sah secara hukum, sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin, lebihlebih lagi pemimpin organisasi agama. Lalu siapa yang seharusnya menjadi pemimpin menurut Weda? “Biarkan dia yang inteleknya tajam dan yang pikirannya murni mengenakan mahkota raja.” Atharva Weda. 13. 244. |
Kamis, 08 November 2012
Semoga Yang Jahat Tidak Memimpin Kita
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)