(sira meneng ana meneng, nora liwat po saking rika, sang hyang kalepasan aranira)
Keadilan Tuhan dapat ditemukan dalam keseharian hidup manusia. Ada banyak hukum keadilan Tuhan yang dinikmati oleh manusia seperti; Pertama, manusia diberikan waktu 24 jam sehari dan waktu itu berlaku bagi semua orang. Kedua, jumlah frekuensi nafas yang diberikan kepada manusia yang sama untuk masing-masing orang sehingga usia orang berdasarkan jumlah nafas yang mereka hembuskan dan makin sering nafas digunakan makin cepat habis dan kematian menghampiri kita. Itulah yang dikatakan para penganut Yoga Asana, Ketiga Tuhan memberikan kita seribu langkah untuk membuka pintu gerbang svarga atau neraka, semakin sering kita menggunakan langkah tersebut, semakin cepat pula kita sampai di salah satu gerbang itu. Ada 10 macam langkah manusia Hindu yang menghantarkan mendekati gerbang itu; 4 macam dari perkataan, 3 macam dari perbuatan dan 3 macam dari pikiran yang tertuang dalam Manawa Dharmasastra adhyaya XII 5-7. Bernafsu akan milik orang lain, berpikir pada diri seorang apa yang tidak diinginkan dan mengikuti ajaran yang salah merupakan 3 macam dosa pikiran. Mencemooh, berbohong, mengurangi kebajikan orang lain dan berkata kosong adalah 4 macam dosa dari perkataan. Mengambil apa yang belum diberikan, melukai mahkluk tanpa perintah hukum agama dan melakukan zina dengan istri orang lain dinyatakan 3 macam kejahatan dari tingkah laku badan. Sraddha yang ketiga dalam Hindu adalah Karmaphala, setiap perbuatan akan mengakibatkan dua hal: punarbhawa (tumimbal lahir seperti kerucut spiral di satu sisi bergerak keluar dan disisi lain bergerak ke dalam) dan moksa akibat terakhir dari putaran spiral yang mengarah kedalam yaitu sang diri menunggal denganNYA. Moksa Moksartham jagathita ya ca iti dharma mempunyai dua aspek penting dalam tujuan mengarungi kehidupan manusia Hindu adalah kebahagiaan di dunia dan tercapainya kebebasan atau kelepasan, yakni bebasnya atma (roh) dari belengu karma dan samsara atau kelahiran kembali (Zoetmulder, 1995). Tattwa Jnana menjelaskan tentang moksah adalah “tutur ngaranya ri kalanya sthiti humideng tan polah” ketika tutur (atman) dalam keadaan tetap langgeng tidak bergerak. Apabila dikatakan bahwa setiap kematian adalah keindahan dan setiap keindahan adalah kebahagiaan, maka kita akan bahagia setelah tidak membutuhkan tubuh yang baru untuk kita kremasi kelak. Recycling tubuh (punarbhawa/ reinkarnasi) dalam Hindu merupakan suatu usaha tindakan penghindaran, meskipun dalam Swargarohanaparwa Jawa Kuno diisyaratkan bahwa moksa itu hanya bisa dicapai oleh orang yang dipandang suci (Made Titib, 2006). Upacara Metuunang/ Meluasang Istilah metuunang/mepeluas bukan saja merupakan tradisi budaya, melainkan sebuah rangkaian peristiwa dalam sistem keagamaan Hindu di Bali yang sering dilaksanakan untuk menyambut kelahiran seorang anak, sehabis upacara besar tertentu, kena musibah/ bencana dll. Metuunang dilakukan dengan perantara Balian Pedehan yang ada di sekitar masyarakat Hindu di Bali. Didahului dengan nunas ke Betara Dalem agar bisa didatangkan roh leluhur yang dikehendaki untuk hadir pada Balian Pedehan yang dimaksud. Kesakralan dan keunikan peristiwa ini adalah dengan mendatangkan “Roh” orang yang kita undang lewat Balian Pedehan yang sedang kerawuhan/ kerasukan. Untuk mengetahui siapa yang manumadi pada si bayi, orang tua (nenek atau kakek) akan melaksanakan upacara Metuunang, di akhir upacara ini disambut dengan kesimpulan final bahwa yang numitis ke raga si bayi adalah I pekak…, I kumpi…, I buyut…. dst, yang menariknya lagi adalah mereka yang masuk ke raga si bayi selalu masih ada hubungan keluarga vertikal dengan yang melaksanakan upacara Meluasang saat itu. Kelahiran seseorang (otonan) mempunyai pengaruh tertentu yang bersifat baik dan buruk. Baik karena setiap hari kelahiran ada Dewatanya dan buruk karena setiap hari juga diikuti oleh Bhuta. Dalam lontar Wariga Dewasa dan lontar Weraspati Kalpa diisyaratkan bahwa hari lahir anak membawa keberuntungan dan ciri hidup yang harus dia terima selama di bumi “tingkahing wong nista madya utama wangsa, ngamet dewasa ayu, ngaran amener diawak, adius angunting, memeras wang anggen pretisantana”. Atman Stula Sarira kehilangan keseimbangan ikatan antara komponen pembentuk yang tersisa hanyalah Sukma Sarira yang sudah tidak diikat lagi oleh Pancamayakosa. Atman yang masih diikat (dilingkupi) oleh annamayakosa dan pranamayakosa disebut dengan roh halus (soul). Atman yang murni yang tidak tercemar oleh bentuk ilusi (maya). Atman juga mempunyai tingkatan atas bawah yang merupakan ciri berstratanya kemurnian Atman. Sapta Atma merupakan hakekat dari Sunya yang merupakan komponen utama dari atman itu sendiri. Atman dalam Tutur Gong Besi sampai yang tertinggi adalah: Atma yang tunggal1, Parahatma2, Paraatma3, Gogatma4, Antaratma5, Siwatma6 dan Sunyatma7. Ketika mencapai yang terakhir inilah disebut sebagai manunggaling kawula lan gusti. Atman mampu keluar masuk tubuh manusia sesuai dengan kebutuhannya yang kemudian disebut Jagra dan Susupna dengan meniatkan Atma untuk keluar dari diri manusia dengan mantra “Ih kulisah metu ta sira, amarga ring telenging netra kalih, maring surya tingghal trangana, byar apadang”. Punarbhawa Kelahiran kembali dalam Hindu sesuatu hal yang ditunggu karena berhubungan dengan Tri Rna pertama yang harus dibayar oleh manusia yaitu hutang kepada leluhur. Akan tetapi Punarbhawa juga sekaligus harus dihindari karena dia merupakan penghambatan tujuan Hindu itu sendiri. Punarbhawa akan menjadi tujuan adalah jika mendapatkan kelahiran dalam raga sarira dan sukma sarira yang lebih baik dibandingkan ketika dalam kehidupannya sekarang sebelum meninggal (Nala, 2001). Rna yang kedua adalah hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menyebabkan kita ada di dunia ini dan Rna yang ketiga hutang kepada para Rsi yang telah mendidik manusia untuk belajar kebenaran (satyam, siwam dan sundaram). Perjalanan panjang atman menuju Siwa Lokha tentu banyak hambatan dan tantangan. Hambatan paling utama dan pertama adalah kebingungan (unconsciousness) jati diri atman dalam tubuh manusia yang terikat oleh Panca Maya Kosa. Dalam Taittiriya Upanisad disebutkan annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa, widnyanakosa dan anandamayakosa. Proses kosmis dalam 5 tahapan inilah yang selalu mengaburkan realitas tak terbatas yang tidak terbagi itu. Punarbhawa bertujuan agar kita bisa memiliki raga dan sukma sarira yang lebih baik, untuk itu sebaiknya kita mampu memilih garbha (kandungan) yang baik. Menurut Pandita Mpu Nabe Daksa Samyoga (2007) ada beberapa cara untuk mencapai ini: Setelah 3 ½ hari pertama kematian kebanyakan orang belum bisa menyadari kematian dirinya. Untuk menyadari hal itu, maka si mati (?) harus berdoa dan mohon bantuan dari Keberadaan Pintu Garbha yang terbuka dan tertutup. Jika melihat orang melakukan senggama jangan tertarik dan tergoda, karena pintu Garbha bisa tertutup kembali. Kita bisa lahir kembali dengan 4 cara melalui: kandungan seorang ibu, telur, biji-bijian, dan cara lain yang bersifat supra natural. Kalau tergesagesa dan salah memilih cara lahir, kita bisa lahir menjadi hewan atau bahkan menjadi tumbuhan. Memilih Garbha begitu penting ketika kita ingin lahir kembali agar bisa menikmati alam dunia yang indah ini. Ada 8 tanda Gharba dengan artinya masing-masing sbb: Danau dan angsa, sebagai pertanda kita lahir keluarga mapan dan nyaman. Bangunan-bangunan megah, pertanda peningkatan kesadaran dan kemurnian di dunia yang akan datang. Danau dan kuda-kuda yang berkeliaran di tepinya, kita akan memperoleh kekayaan tapi kesejahteraan yang semu. Danau yang dikelilingi oleh hutan yang luas dengan berbagai macam binatang berkeliaran, kita dapat usia yang panjang, tetapi tidak menunjang kehidupan spiritual. Tempat suci dan Pura yang megah, kita akan lahir dalam alam para Dewata atau lahir dalam keluarga yang religius yang sangat membantu proses kemurnian jiwa kita. Belukar dan api yang membara, kita akan lahir dalam keluarga yang mengagungkan kekuatan dan kesaktian. Gua-gua yang gelap atau lubanglubang yang besar yang tertutup kabut, kita akan lahir pada mereka yang masih bersifat hewani. Bersamaan terlihat padang pasir yang luas, hutan belukar yang gelap, gua-gua yang sunyi dan lapangan tanpa habitat, kita akan lahir dalam kehidupan yang tidak berarti. Itulah sebabnya kita harus memusatkan pikiran kita sebelum kematian menjemput agar kematian itu menjadi sesuatu yang indah yang diimpikan semua orang. Dr. Putu Melaya, MPH, Desa Jagaraga Sawan Buleleng. Jl. Pulau Sebatik 10A Denpasar Bali. |
Kamis, 08 November 2012
Reinkarnasi Dalam Tradisi di Bali
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)