Sabtu, 17 November 2012

Dasar Pengorbanan



Dasar Pengorbanan
Oleh : I Gede Suwantana*

Nayam loko ‘sty ayajnasya kuto ‘nyayah kurusattama (Bhagavad-Gita, 431)
Wahai, Yang Terbaik dan Dinasti Kuru, tanpa yadnya (pengorbanan orang tidak akan pernah hidup bahagia di dunia atau di kehidupan ini: lalu apa kemudian?

SAAT kita menyadari - bahwa kita eksis, maka kita menyadari pula bahwa kita hidup. Hidup adalah suatu yang pasti yang tidak bisa disangkal. Kita tidak bisa menolak untuk hidup. Kehidupan datang tanpa ada yang mampu menyangkalnya. Ia datang tanpa permisi, diinginkan atau tidak, kehidupan itu eksis. Bahkan lebih tepatnya kehidupan eksis di luar semua dualitas, di luar ‘tidak’ atau ‘ya’-nya keinginan. Kehidupan ada di luar batas pemahaman kita sebagai manusia. Segala bentuk ekspresinya juga tidak bisa diketahui. Kita hanya tahu dan menganalisisnya dalam akibatnya saja. Segala bentuk nilai, filsafat, dan kegiatan manusia hanya ada dalam akibat. Eksistensinya selalu berada dalam misteri.

Dalam upaya menyingkap misteri ini, berbagai metode diperlukan. Maka dan itu agama,
spiritualitas, dan bentuk lain muncul. Meskipun demikian, eksistensi kehidupan tetap misteri. Mungkin ada beberapa yang mampu meraih pengetahuan dan pengalaman berhadap-hadapan dengan kebenaran itu tetapi, tetap kebenaran yang ditemukan tidak dapat diajarkan dan tak pernah terungkapkan oleh kata-kata. Kitab suci yang ditulis kemudian menjelaskan kebenaran itu. Implikasinya ada dua, pertama kitab suci menuntun orang menuju kebenaran itu, kedua pada saat yang sama hanya - menjadi sampah bagi keranjang pikiran manusia.

Implikasi pertama merupakan tujuan kitab suci yang sesungguhnya, sedangkan implikasi kedua hanya kebalikannya. Tetapi kenyataannya, implikasi kedualah yang menguasai sebagian besar manusia.
Seperti halnya ajaran Krishna tentang yadnya dalam sloka di atas. Krishna mengatakan bahwa “tanpa pengorbanan kita tidak akan perriah bahagia”. Pernyataan ini muncul dan pengalaman akan kebenaran itu. Ketika kita membacanya, apakah ia akan menjadi jalan atau keranjang sampah kita tidak pernah mengetahuinya. Namun satu hal yang pasti ketika pengorbanan menjadi tolok ukur paling äkhir dan kebahagiaan, maka pergulatan itu eksis dan akan menjadi pengorbanan itu sendiri.

Hidup kita tidak dapat ditolak. Demikian pula yadnya, kita tidak dapat lari darinya. Yadnya adalah sebuah kemutlakan. Yadnya dan kehidupan adalah satu. Ketika kehidupan pasti, maka yadnya juga demikian. Orang yang menolak berkorban adalah orang yang menolak kehidupan. Tidak mungkin orang bisa menerima kehidupan pada saat yang sama tidak mau berkorban. lndikasinya dapat kita lihat dalam tujuan kehidupan kita, yakni “kebebasan” dan dalam bahasa rasa, kebebasan menjadi kebahagiaan. Kebahagiaan diraih melalui pengorbanan. Oleh karena itu kehidupan dan pengorbanan adalah satu. Pengorbanan atau yadnya di sini sangat luas. Menerima tanpa syarat kehidupan ini adalah pengorbanan paling besar. Menerima dengan ikhlas apa pun yang terjadi atas kehidupan kita adalah yadnya. Saat kita senang kita terima, demikian juga saat kita sedih kita dengan penuh kerendahan hati menerimanya.

Menerima kenyataan adalah - pengorbanan paling besar dan paling mendasar. Saat pengorbanan dasar ini mampu kita laksanakan dengan balk, maka jenis pengorbanan lain, balk yang bersifat nilai, budaya, kemanusiaan, dan lainnya, itu akan dengah sendirinya berjalan dengan balk. Pengorbanan atau yadnya sekunder dan tertier berikutnya akan menjadi penuh arti.
Pengorbanan ni akan mengantarkan orang menuju kebahagiaan. ini bukan berarti suatu saat setelah metakukan banyak pengorbanan orang akan berada dalam kebahagiaan. Pengertian ini sangat keliru dan ini yang sering terjadi, sehingga orang terbingungkan apakah benar pengorbanan akan mendatangkan kebahagiaan. Pengertian yang mendekati kebenaran akan pernyataan “pengorbanan mengantarkan menuju kebahagiaan” adalah pengorbanan itulah kebahagiaan. Orang bahagia saat berkorban, bukan hasil dari berkorban.

Ketika kita mampu berkorban, yang ada kemudian hanya kebahagiaan. Tidak ada yang lain. Meskipun kebahagiaan dalam pengertian duniawi dapat kita raih dalam pengorbanan. Ikhlas akan mengantar orang pada kebahagiaan itu dalam situasi apa pun dan dalam tingkatan mana pun. Oleh karena itulah Krishna bertanya “saat pengorbanan dapat kita lakukan” lalu apa kemudian? *penulis Dfrektur Indra Udayana Institute of  Vedanta.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar