Kamis, 08 November 2012


Tak Lagi Tertindih Beban

Tiap kali orang-orang menggelar yajnya di satu tempat suci, para penanggungjawab lazim pula disebut pangemong atau pangempon pura, umumnya diwajibkan mengeluarkan dana atau iuran dalam menopang perjalanan upacara. Besaran iuran ( urunan ) pun tidak menentu, menyesuaikan tingkatan upacara yang digelar. Di samping dalam bentuk uang, pangempon pura juga diwajibkan membawa perlengkapan lain seperti rerampe dan reramon.
Bahan-bahan dimaksud umumnya dipergunakan bahan upakara. Kelaziman demikian tak akan ditemui di Pura Kerta Kawat. Warga pangempon tak perlu berlama-lama ngayah di pura. Mereka cukup datang satu hingga dua hari menjelang puncak karya. Itu pun dalam rangka menghias, membersihkan pura, dan memasang penjor. Pasalnya, seperti yang pernah disampaikan Jero Mangku Ida Bagus Kade Temaja, koordinator pamangku pura pasanakan Pulaki beberapa waktu lalu, sebelum upacara digelar, maka akan diawali dengan menggelar paruman. Dalam pertemuan tersebut dibentuk tri manggalaning karya, terdiri dari sulinggih sebagai yajamana karya, tapini (tukang banten), serta pangrajeg karya dari wakil-wakil masyarakat.
Tujuan dari pertemuan itu membahas berbagai hal menyangkut upacara, mulai dari tingkatan upacara, hingga pembagian tugas masing-masing pangempon. Apa dan di mana mereka ditugaskan. “Cara ini juga untuk menghindari pengayah hanya berkumpul di satu pura dan lengang di pura lain” kata Pamangku Pura Kertha Kawat, Ida Bagus Darmika. Di samping terbebas dari tanggung jawab ngayah , pangemong Pura Tirta Kawat yang berasal dari warga desa pakraman dua kecamatan (Seririt dan Gerokgak) batasan wilayah paling barat yakni di sebelah timur Cekik (Jembrana), paling timur di sebelah barat Tukad Saba (Seririt) ama sekali luput dari urunan berupa uang. Sarana kelengkapan upakara lain, terutama banten catur, pengerjaan sepenuhnya diserahkan kepada sulinggih. Biaya diambil dari dana yang tersimpan di pura.
Uang ini merupakan kumpulan dana setahun yang berasal dari sesari dan punia warga yang datang tangkil ke Pura Kertha Kawat. Tiap saat kata Aji Mangku, lebih-lebih pada hari suci seperti Purnama, Tilem (bulan mati), banyak pamedek dari berbagai daerah di Bali yang tangkil ke pura. Di samping menghaturkan sesaji, tak jarang pula melengkapi dengan sesari dan ada yang madana punia. Sesari dan dana punia yang dikumpulkan dalam setahun itulah selanjutnya dijadikan modal menggelar upacara. Dan, cara serupa memang amat meringankan para pangempon. Tiap kali menggelar upacara di Kertha Kawat, mereka terbebas dari beban uang, tak perlu harus bersusah-susah merogoh saku celana.

Sumber
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar