Senin, 12 November 2012

Yudi Latief, dan Jalan Dharma-nya.

Yudi Latief


Kita mengenal Yudi Latief sebagai penulis di surat kabar nasional dan nara sumber dalam talk show mengenai masalah politik atau kenegaraan di berbagai stasiun TV di Jakarta. Pekerjaan yang terakhir inilah yang menyebabkan dia diadukan ke Mabes Polri oleh beberapa petinggi satu partai politik, karena dianggap menghina bos besar partai itu.

Majalah “U” edisi 38, Januari 2011 memuat wawancaranya dengan Yudi Latief.

Terkait dengan pengaduan itu, Yudi Latief ditanya, “Takutkah Anda?”

Yudi Latief menjawab: “Kalau penilaian saya subyektif dan tidak didukung fakta, saya boleh takut. Tapi, kalau memang didukung fakta dan keyakinan, saya tidak takut. Toh kita hidup tidak sendirian. Ada anak, istri dan keluarga.”

Mengapa anda bersuara lantang?
Yudi Latief: ”Persoalan di sini bukan suka atau tidak suka, melainkan keyakinan. Saya menunaikan kewajiban sebagai intelektual. Itu jalan dharma saya.

Jalan dharma? Bagaimana anda mendefinisikannya? Yudi Latief: ”Saya banyak bergaul dengan orang-orang Hindu. Awal teori kasta sebenarnya bukan kelas sosial, melainkan spesifikasi dan karakter seseorang dalam mengemban tugas. Jalan dharma saya adalah intelektual. Saya tidak minder di depan pengusaha atau politikus karena masing-masing berjalan sesuai dharmanya. Aburizal Bakrie tidak lebih terhormat daripada saya dalam kehidupan publik.”

Yudi Latief, 46 tahun, lahir dari Ibu yang berasal dari menak Sunda dengan orientasi politik nasionalis, dan bapak yang keluarganya pemilik pesantren di Yudi Latief, dan Jalan Dharma-nya. Sukabumi, dengan orientasi politik NU (pada tahun 1950an).

Mengikuti pendidikan SMP di Gontor, perguruan tinggi di Universitas Pajajaran, Bandung, dan memperoleh gelar PhD dari Australian National University tahun 2004.

Ia merupakan salah seorang pendiri Universitas Paramadina bersama Dr Nurcholis Madjid (alm). Pernah mendapat suara terbanyak dalam pemilihan rektor univeristas ini untuk menggantikan Dr Nurcholis Madjid (Cak Nur), tetapi karena politik internal, ia tersingkir.

Ia adalah pendiri dan sekarang ketua dari Nucholis Madjid Society, yang bertujuan mengembangkan pluralisme. Ia sering diundang sebagai pembicara dalam kelompok-kelompok non Muslim, seperti Buddhis, Katolik, Huria Kristen Batak Protestan. Tampaknya organisasi Hindu perlu juga sekali-sekali mengundang Yudi Latief, untuk mendengarkan pemaparannya tentang Jalan Dharmanya, tepatnya     warna dharmanya.
 
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar