Kamis, 08 November 2012

Mantra Usang Deklarasi Kebudayaan Bali


Print E-mail
Oleh Wayan Kun Adnyana
Ada persoalan infrastruktur dan suprastruktur kolektif yang tidak disentuh oleh DKB, yang sejatinya telah memamah kesadaran pibadi manusia. Keseharian menjadi terselimut kabut kegagalan infrastruktur, semisal, sekolah yang tak memberi jaminan anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia cerdas, birokrasi yang menumpulkan harapan kita tentang mimpi kesejahteraan sosial, dan lain-lain yang serba timpang. Hingga hal yang harus disasar oleh Kongres Kebudayaan Bali adalah pernyataan tentang perlunya pembenahan dan reposisi secara radikal infrastruktur kolektif, seperti sekolah dan perguruan tinggi, dan juga birokrasi pemerintahan yang harus ditata ulang.
SENYAP, dan nyaris tak melibatkan interaksi publik. Deklarasi Kebudayaan Bali (DKB) diproklamasikan di akhir Kongres Kebudayaan Bali, 14-16 Juni lalu di Denpasar, yang secara gegabah diklaim sebagai kongres pertama, padahal sejarah mencatatkan di tahun 1937 di Bali telah pernah diselenggarakan kongres serupa sungguh sangat kesepian. Selayak bait mantra di ruang kosong; kehilangan roh, dan tanpa daya hidup.

Empat poin yang disodorkan DKB, adalah (1) Bahwa sesungguhnya kebudayaan daerah, nasional, dan global adalah satu eksistensi yang dijiwai oleh bhineka tunggal ika, satu identitas, dan satu fondasi kemanusiaan yang sarat nilai-nilai historis, logika, etika, spiritualita, estetika, solidarita, dan makna kehidupan; (2) Bahwa pengembangan kebudayaan Bali hendaknya mampu menghormati identitas budaya dengan berbagai keragamannya, menghargai kearifan lokal, serta mengapresiasi kreativitas menuju kemajuan budaya, adab, sains, seni, harmoni, dan kesejahteraan; (3) Bahwa marginalisasi, hegemoni, dan kepunahan kebudayaan harus dicegah, dan sebaliknya potensi kekhususan, keunggulan, dan keadaban harus dilestarikan dan diberdayakan untuk memuliakan kemertabatan dan kemanusiaan melalui kersa jama sinergis, serta tanggung jawab bersama secara lintas daerah, lintas kelompok etnis, dan lintas bangsa; (4) Bahwa pendalaman kebudayaan agar mampu menggetarkan roh serta tekad baru untuk bangkit secara lokal, nasional, global, dalam spirit kearifan, toleransi, dan kedamaian, dari Bali untuk Bali, dari Bali untuk Indonesia, dan dari Bali untuk dunia.
Keempat poin tersebut, tentu saja sederet rangkuman pemikiran yang biasa-biasa saja, yang dapat dengan mudah dibaca di buku pelajaran ilmu budaya dasar. Tetapi menarik pula didiskusikan, karena di sana-sini tercecer ungkapan kontraproduktif, yang menyulut kesulitan kita untuk memahami secara gamblang.

Pengampunan terhadap Realitas Sehari-hari
Tentang bhineka tunggal ika sebagai konsep pemahaman tunggal untuk menyatakan identitas kebudayaan global, sebagai kebudayaan dengan satu identitas, dan satu fondasi kemanusiaan yang sarat nilai-nilai (bla, bla, bla semua kata indah sepertinya dipaksa dicantumkan), adalah pembacaan yang jauh dari sikap berpikir kritis. Seakan kebhinekaan yang diyakini sebagai ketunggalan adalah realitas terberi dari langit. Sepertinya manusia dengan berbagai dosa-dosa sejarah yang telah dilakukannya hingga hari ini, akan begitu saja mengamini dirinya sebagai bagian yang sama dengan manusia lain. Yang tanpa curiga, dan siasat busuk, akan toleran terhadap sesamanya. Terbukti, sampai kini hal itu hanyalah di dunia otopia. Perang, dan pertikaian karena semata berbeda tetaplah semarak di keseharian kita, sebut misalnya kekerasan antarbanjar, hukuman kasepekang, dan lain-lain, termasuk pencemaran lingkungan, dan pengangguran.
Karena penghargaan atas kebhinekaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, maka artikulasi poin (1) DKB, hendaknya menyemangati bahwa kehendak untuk menghormati kebhinekaan sebagaimana diperjuangkan oleh kebudayaan-kebudayaan leluhur di masa lalu, merupakan medan kerja yang harus diaktualisasikan. Sebuah ikrar bersama yang memiliki kekuatan negasi. Karena di sinilah, kebudayaan sesungguhnya harus dipahami sebagai kata kerja, sebagai riwayat kreativitas dan mental kolektif manusia untuk menyempurnakan kehidupannya secara terus-menerus.
Bukannya, malah (baca poin (2, 3, dan 4 DKB), hanya anjuran yang gamang, dengan menyatakan bahwa pengembangan kebudayaan Bali ditujukan bagi Bali, Indonesia, dan dunia, hanya dengan formulasi etis; pernyataan yang berikhtiar tentang urusan manusia dengan pribadinya sendiri. Sepertinya yang salah dalam prahara kebudayaan kini: merebaknya kekerasan, eksploitasi koorporasi global, dan lain-lain, adalah semata kegagalan manusia atas dirinya sendiri, adalah sangat keliru.
Ada persoalan infrastruktur dan suprastruktur kolektif yang tidak disentuh oleh DKB, yang sejatinya telah memamah kesadaran pibadi manusia. Keseharian menjadi terselimut kabut kegagalan infrastruktur, semisal, sekolah yang tak memberi jaminan anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia cerdas, birokrasi yang menumpulkan harapan kita tentang mimpi kesejahteraan sosial, dan lain-lain yang serba timpang. Hingga hal yang harus disasar oleh Kongres Kebudayaan Bali adalah pernyataan tentang perlunya pembenahan dan reposisi secara radikal infrastruktur kolektif, seperti sekolah dan perguruan tinggi, dan juga birokrasi pemerintahan yang harus ditata ulang. Belum lagi suprastruktur; kesepakatan baru: pendewasaan mentalitas, dan tradisi pemikiran, yang tak pernah lahir di negeri ini, jelas menambah ketakberdayaan individu untuk memerangi yang kolektif. Bali kini sesungguhnya berada dalam peta makro kegagalan infrastruktur tersebut tadi.
Hingga yang harus dikatakan terhadap Kongres Kebudayaan Bali yang beberapa hari pelaksanaannya berlalu itu, adalah ketakberdayaan membaca momentum kekinian Bali yang makin kompleks, dengan wajah keseharian murung tanpa daya.

Penulis, pengajar di ISI Denpasar, mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta

* Sepertinya yang salah dalam prahara kebudayaan kini: merebaknya kekerasan, eksploitasi koorporasi global, dan lain-lain, adalah semata kegagalan manusia atas dirinya sendiri, adalah sangat keliru.
* Karena penghargaan atas kebhinekaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, maka artikulasi DKB hendaknya menyemangati bahwa kehendak untuk menghormati kebhinekaan, merupakan medan kerja yang harus diaktualisasikan.
* Bali kini sesungguhnya berada dalam peta makro kegagalan infrastruktur, hingga yang harus dikatakan terhadap Kongres Kebudayaan Bali yang beberapa hari pelaksanaannya berlalu itu, adalah ketakberdayaan membaca momentum kekinian Bali yang makin kompleks, dengan wajah keseharian murung tanpa daya.

Sumber
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar